Tuesday, April 7, 2015



Akademik VS Organisator

Menjadi mahasiswa ideal agaknya selalu menarik untuk diperbincangkan. Dalam konteks akademik, mahasiswa mempunyai tanggung jawab terhadap almamaternya maupun terhadap diri sendiri dan orang tua agar kuliahnya menghasilkan predikat memuaskan dan tepat waktu.
Tapi, di sisi lain mahasiswa mempunyai label ”agent social of change” yang juga tak kalah penting mereka lakukan. Kondisi ini masuk pada ranah kedudukan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan predikat ini sudah mengakar pada masyarakat umum bahwa mahasiswa merupakan garda terdepan dalam menatap perubahan masa depan bangsa.
Masyarakat memandang mahasiswa itu bisa segala-galanya, baik dalam persoalan keilmuan maupun dalam urusan sosial. Dengan demikian ketika mahasiswa menjadi sarjana, mereka harus mampu merespon sekian persolan sosial yang terjadi di sekitar lingkungannya. Sementara, pada tataran tanggung jawab akademik mahasiswa dihadapkan pada kehidupan masa depan mereka. Selesai kuliah, bekerja atau menambah daftar pengangguran terdidik? Artinya, pada wilayah ini mahasiswa bersentuhan yang namanya dunia kerja. Bicara dunia kerja terkait dengan kemampuan akademik dan IPK.
Bagi mahasiswa yang memiliki kesadaran sosial (social awareness), paradigma yang dibangun adalah selain belajar juga diimbangi (balance) dengan kegiatan sosial, dengan harapan mereka dapat melaksanakan label yang selama ini dimiliki mahasiswa, yaitu sebagai agen perubahan sosial. Pada konteks ini mahasiswa dihadapkan problem benturan aturan akademik yang mengekang kreativitas mahasiswa.
Dari dua dimensi tanggung jawab itulah, kemudian melahirkan beberapa tipikal mahasiswa. Pertama, Mahasiswa akademik ansich. Mahasiswa model ini biasanya rajin ke kampus. Ada yang menyebutnya mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang), mahasiswa segi tiga K (Kuliah, Kantin, dan Kos). Datang tepat waktu, semua tugas dikerjakan, catatan lengkap, dan manut pada dosen. biasanya diakhir semester menjadi incaran banyak mahasiswa untuk sekedar memfotokopi bahan kuliah dan dijadikan mitra menjawab soal UAS. Mahasiswa berkarakter tadi masih termasuk mahasiswa tipe pertama yang sering disebut mahasiswa anak dosen, karena tipe mahasiswa seperti itu biasanya diambil menjadi asisten dosen, selesai melanjutkan akademik, kemudian menjadi dosen.
Masih dalam tipe pertama, mahasiswa model ini cenderung terjebak pada ranah formalitas dan menganggap bahwa ruang kuliah, sebut saja dosen merupakan medium satu-satunya sumber ilmu. Kehidupan di kampus sebatas ajang bergaul dengan teman-teman satu kelas, karena tidak mengikuti kegiatan apapun di kampus, kecuali kuliah. Mind-set yang dibangun pun bersifat datar (pada umumnya), yaitu IPK coumlade, kuliah tepat waktu, lulus jadi PNS misalnya.
Padahal, kehidupan setelah kuliah tidak semudah dibayangkan. Fakta mengatakan, seringkali mahasiswa tipe pertama ini gagal ketika berhadapan pada persoalan nyata yang terjadi di masyarakat. Padahal mahasiswa mempunyai tanggung jawab sosial, selesai kuliah diharapkan bisa membangun kampung-nya, pada level lebih besar membangun provinsi, agama dan negaranya. Begitu juga dalam dunia kerja, ketika ia gagal dalam persaingan sesuai jurusannya, otomatis menjadi pengangguran terbuka, karena tidak mempunyai skill yang lain (monotonous capability).
Kecendrungan negatif adalah gengsi bekerja kalau itu bukan bidangnya, lebih baik nganggur dari pada menahan malu. Hal itu terjadi, karena paradigma yang terbentuk adalah pada orientasi (orientation) bukan kesadaran (awareness). Kesadaran dalam artian, mampu membaca peluang, kuliah tidak semata jalan mencari pekerjaan, memberikan kontribusi pada masyarakat (social responsebility), bekerja apapun (entrepreneur) yang penting bermanfaat dan positif.
Kedua, Mahasiswa aktivis kampus atau sering juga disebut organisator. Tipekal mahasiswa ini memiliki kesadaran sosial bahwa label mahasiswa tidak hanya mempunyai tugas akademik, tapi ada tugas sosial. Satu sisi ada persoalan lain kesadaran yang dibangun kebablasan. Segudang agenda kegiatannya dalam berorganisasi terkadang melupakan tugas utamanya, yaitu kuliah. Ia tidak bisa lagi me-menej dri antara aktifitas organisasi dna kuliah (akademik). Mahasiswa aktivis kampus seperti inilah yang membedakan dengan mahasiswa aktivis angkatan para founding fathers kita. Mereka aktivis, tapi tetap fokus pada akademik-nya.
Sebut saja Bung Karno, ranah akademik-nya melahirkan Insinyur Teknik, Hatta kemampuan dalam bidang ekonomi tidak bisa diragukan lagi, dan Syahrir kapasitas dalam diplomasi, membuatnya sering mewakili Indonesia dalam pertemuan Internasional. Mereka adalah orang-orang yang getol dalam kegiatan sosial demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, akan tapi tidak meninggalkan dunia akademiknya.
Kedua tipikal mahasiswa di atas setidaknya menjadi gambaran bagi mahasiswa era kini, mana yang menjadi nilai plus dan mana yang akan menghambat prospek kesuksesan ke depannya. Menjadi sang organisator yang lihai dalam akademik akan mempermudah jalan hidup untuk menuju gerbang pasca kampus. Akademik Yes, Organisasi Ok! Salam mahasiswa sukses! (Hasan Asyhari, pegiat Forum Aktif Menulis Indonesia)

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Semoga kita semuanya dalam keadaan sehat, Aamiin. Bagi kami yang hidup di daerah minoritas Islam, satu, dua petak ruangan yang bisa dijadikan untuk masjid, bagi oleh muslim mana saja, adalah sangat berarti. Untuk itu kami ingin mengajak saudara saudari kami yang muslim di mana saja berada, untuk ikut ambil bagian dalam program pendirian rumah Allah di Hiyodoridai, Kobe, Jepang. Semoga kita berkenan.

"Mari Bersama Mendirikan Rumah Allah"

"Bertolong-tolonganlah kamu untuk hal kebaikan dan taqwa dan janganlah bertolong-tolongan untuk hal kejahatan (perbuatan dosa)" (QS Almaidah : 2).

"Membangun masjid, memakmurkan dan menyediakan untuk orang-orang shalat termasuk amal yang utama. Allah akan memberikan kepadanya pahala nan agung. Ia termasuk shadaqah jariyah yang pahalanya berlanjut hingga seseorang telah meninggal dunia.

Allah berfirman (QS At-Taubah: 18);
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang membangun masjid, maka Allah akan bangunkan baginya semisalnya di surga.” (HR. Bukhari, dan Muslim, dari Hadits Utsman radhiallahu’anhu)

Diriwayatkan Ibnu Majah, dari Jabir bin Abdullah radhiallahu’anhuma sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa membangun masjid karena Allah sebesar sarang burung atau lebih kecil. Maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (Dishahihkan oleh Al-Albany)

Kami di ACIKITA, mengundang saudara kami sebangsa dan seiman untuk memberikan donasi untuk pelunasan rumah yang sudah dijanjikan untuk dilunasi pertanggal 20 April 2015. Rumah tersebut akan difungsikan sebagai masjid, dengan nama masjid Istiqomah. Alhamdulillah letaknya sangat strategis sekali, bangunan sangat baik, lokasi di Hiyodoridai Kobe. Kekurangan dana saat ini sekitar 4 juta yen yen atau setara dengan 400 juta rupiah.

Donasi bisa disalurkan ke rekening ACIKITA
1. Rekenng ACIKITA di Jepang
Bank Post Japan : ACIKITA (dengan kata kana)
No rek : 10180-57922101
2. Rekening ACIKITA di Indonesia
Bank Mandiri atas nama: R Saharso No Rek: 127-00-0540785-1.
Untuk setiap penyaluran dana mohon dituliskan, donasi untuk mesjid, dan
mohon diinfokan kepada kami via email: pengurus@acikita.org
atau Hp +81-80-3333-1327 +81-80-3333-1327

Update dana masuk kami posting di sini:
https://www.dropbox.com/s/…/Pembukuan%20Donasi%20Mesjid.xls…
Kepada teman teman yang sudah membeikan donasinya kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, insyaAlah Allah akan membalasnya dengan pahala yang setimpal, Aamiin.

Kepada yang berkenan, mohan bantuan untuk menyebarluaskan himbauan ini. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jumiarti Agus
Ketua Internasional ACIKITA
Website ACIKITA; www.acikita.org
Kobe, Japan