Sunday, January 24, 2016

Ten Days at Kuadas Village


Hari ke-1 (Senin, 24 Agustus 2015):
Hari ini adalah babak awal bagiku. Allah swt adalah Tuhan Maha Pengatur segala gerak kehidupan ini. Hal yang tidak aku duga malah aku elakkan, akhirnya terjadi sudah.

Dua hari sudah aku di LPTQ distrik Aimas, akhirnya aku dijemput oleh Bapak Kepsek SD YPK Bukit Sion, Kuadas, Bapak Wenand Ulimpa, S.Pd.K dengan mengendarai sebuah mobil sewa. Bersama istri Bapak Kepsek yang juga merupakan seorang perawat PNS di Polindes di desa Kuadas. Saat penjemputan ada yang unik, teman-teman di LPTQ terkejut melihat orangtua angkatku berkulit hitam, benar-benar penduduk asli Papua yang cukup berbeda dibanding orangtua angkat (Kepsek masing-masing) teman-temanku. Namun, ibuk Armiati, yang merupakan salah satu dari dua orang dosen pendamping mengajakku berfoto mereka dan teman-teman.


Kemudian, kami pergi menuju sekolah sasaran (penugasan/ penempatan). Ketika itu desa Kuadas diprediksi Bapak Wenand hujan dengan potensi cukup lebat. Prediksi itu, cukup tepat. Melewati KM 0 hingga sampai KM 40, serasa setengah mati (bahasa orang di Desa Kuadas). Jalanan yang berbelok, berlubang besar dan diisi oleh kubangan air hujan, sekitar jalan sering dijumpai tumpukan material jalan. Alhamdulillah, bisa kami lewati dengan selamat mesti dipenuhi rasa sesak, cemas dan takut. Di atas mobil, saya bercengkrama dengan Bapak dan Ibuk Wenand. Ternyata mereka memiliki tiga orang anak, ada yang kuliah, SMA dan SMP. Mereka memiliki dua rumah, di Sorong dan di Kuadas, tepatnya di atas sekolah. Sekitar jam 18.45 WIT, kami sampai di Desa Kuadas. Sesampai di sana, kami mengambil kunci rumah dinas Kepsek dan langsung menuju rumah tersebut.
Saat datang, saya disambut oleh Komite sekolah dan beberapa orang siswa diantaranya Jois dan Alu. Tidak lama kemudian, Bapak dan Ibu Wenand Ulimpa balik lagi ke Sorong, karena masih ada urusan pertemuan di Dinas Pendidikan Kab. Sorong. Tinggallah aku bersama dua orang siswa yang akan menemaniku malam ini. Bercengkerama sebentar dengan mereka dan lanjut tidur.


Hari ke-2 (Selasa, 25 Agustus 2015):

Tidak terasa hari sudah menunjukkan pukul 05.30 WIT. Keletihan di perjalanan membuat aku tidur pulas dan alhamdulillah badan-pun mulai terasa lega. Pagi ini cukup sibuk karena harus bersih-bersih rumah, memasak dan mencuci. Alhamdulillah sang surya cukup bersahabat kala itu. Sore harinya, saya pergi mengitari sekolah dan menyempatkan diri untuk memotret sisi-sisi sekolah termasuk kuburan besar bertulis batu nisan Philipus Mobilala yang sekaligus merupakan nama jalan di Kuadas. Kemudian, saya memotret pantai nan indah dan sorotan rumah di distrik Makbon tempat dua orang SM-3T UNP mengabdi yakni bang Sutrisno dan Irwandi yang mengajar di sekolah yang berbeda. Malam harinya kita makan bersama dan aku mulai mengansur-angsur mengerjakan laporan, mana tahu saat Monev akan diminta.

Hari ke-3 (Rabu, 26 Agustus 2015):
Hari ini saya dan dua orang siswa bernama Alu dan Nomen masak sambal pagi-pagi. Saya masak nasi goreng, sementara Alu dan Nomen sibuk memasak sayur singkong dengan gaya khas masakan sayur di desa Kaudas. Sehabis makan, saya bersiap-siap pergi ke sekolah yang sangat dekat dari rumah tempat saya tinggal. Menggunakan seragam mengajar warna coklat tua dengan disapit papan nama. Saya berkenalan dengan Ibu Mobillus yang merupakan salah satu guru PNS di sekolah swasta bernuansa kristen ini. Ibu Mobillus memberi saya sayur tumis parutan pepaya muda. Rasanya manis dan cukup enak. Awalnya rada hati-hati, seiring waktu bakal bisa menyesuaikan diri

Setelah itu, aku kembali ke rumah dinas, istirahat. Setelah shalat zuhur baru masak nasi. Kemudian melanjutkan menulis catatan harian. Tidak lama kemudian, hujan lebat-pun datang.

Hari ke-4 (Kamis, 27 Agustus 2015):
Pagi ini hari menunjukkan pukul 07.45 WIT. Selepas sarapan pagi, saya bersiap-siap menuju sekolah. Tiba di sekolah saya bertemu Ibu Mobilus, wali kelas kelas VI yang mengatakan bahwa nanti anak-anak akan dikumpulkan dalam satu kelas untuk perkenalan dengan saya dan siswa-siswi. Antusias siswa ketika saya masuk cukup besar. Saya meminta seorang siswa memimpin untuk menyanyikan lagu nasional. Alhamdulillah, mereka pada hafal. Setelah itu ibu Mobilen, wali kelas kelas 1-4 meminta saya mengajar di kelas V. Akhirnya, saya masuk lokal. Hal pertama yang saya lakukan adalah meminta siswa membuat biodata di kertas yang sudah saya bagikan. Alamak, begitu lamanya. Hampir setengah jam lebih saya menunggu para siswa untuk mengumpulkan kertas tadi. Maklum, kata ibu Mobillen, masih ada siswa yang belum mahir membaca. Kemudian, saya melakukan game talking stop (memainkan spidol secara bergiliran sampai muncul kata stop/ berhenti). Akhirnya dapatlah dua orang siswa mewakili lima orang temannya untuk membacakan biodatanya.
Sore harinya, selepas shalat ashar saya menggunakan waktu untuk bersilaturrahmi ke rumah bapak kepala sekolah, Bapak Wenand Ulimpa, S.Pd.K yang juga merupakan guru Pendidikan Agama Kristen di sekolah itu. Kemudian, menghabiskan waktu untuk untuk melanjutkan menulis catatan harian, etnografi dan catatan perjalanan pribadi saya.

Hari ke-5 (Jum’at, 28 Agustus 2015):
Rencana Allah swt sungguh lebih baik daripada rencana manusia. Kekhawatiran tidak bisa melaksanakan ibadah shalat Jum’at yang merupakan ibadah wajib bagi laki-laki muslim. Alhamdulillah saya mendapat izin dari Bapak Ulimpa, untuk mengikuti ibadah shalat jum’at. Pagi ini pukul 05.00 WIT saya bangun tidur, shalat subuh dan siap-siap meunggu taksi alias angkutan umum yang hanya sekali pergi dna sekali datang tiap hari kecuali hari Minggu, pak Sopir libur karena melaksanakan ibadah rohani di gereja. Tidak lama menunggu, akhirnya sang mobil datang. Bapak guru, bapak guru di depan duduk,” kata seorang perempuan muda yang ketika itu sedang duduk di bangku depan. “Benar-benar saya sangat dihargai,” ucap saya dalam hati.

Melewati jalanan yang cukup meakutkan dengan tikungan yang lumayan tajam. Jalan tidak semua beraspal, karena para pekerja sedang memperlebar jalan. Masih tampak tumpukan material seperti pasir, semen, batu dan tanah galian yang berjejer di tepian bahkan di tengah jalan. Di sekeliling jalan sebagiannya diapit oleh dua jurang yang cukup dalam. Betapa tidak memacu adrenalin. Rasa takut dan cemas terjatuh sempat memompai tubuh. Alhamdulillah, menikmati perjalanan nan penuh kecemasan itu, akhirnya dua jam setelah itu saya sampai di pasar sentral kota Soorng. Wah, ternyata pasar ini serupa dengan pasar raya kota Padang. Luas, banyak barang jualan dan beragam suku bangsa lalu lalang di sekitar pasar. Setelah membeli kebutuhan harian. Saya bertanya pada tukang karcis taksi, “Bapak, di mana rumah makan Padang toh?,” tanya saya cepat. “Di sana, dekat pohon mangga,” jawab sang Bapak. Saya-pun mendapati rumah makan Padang itu dan memesan nasi pakai sambal daging rendang dengan harga Rp.23.000,- tanpa nasi tambah dengan segelas air putih dingin. Sembari makan saya sempati bertanya dan  bercerita ternyata penjualnya adalah orang Danau Singkarak yang sudah 23 tahun menetap di Kota Sorong itu.
 Kemudian, saya minta no hp karena tiap bulan ada pengajian yang diadakan oleh perantau Minang di kota itu. Saya-pun bersiap-siap melaksanakan shalat Jum’at di masjid At Taqwa yang tidak begitu jauh dari rumah makan itu, yakni hanya menyeberangi satu jalan raya. Selepas shalat, saya jemput tas dna barang bawaan yang dititip di warung Rumah Makan Padang tadi dna bersiap menuju terminal taksi yang juga tidak begitu jauh. Selanjutnya, saya masih menunggu penumpang yang lain. Tetapi saya lebih melanjutkan perjalanan mengitari pasar dan membeli tambahan kebutuhan harian. Akhirnya, saya  pulang lagi ke dusun Kuadas.

Hari ke-6 (Sabtu, 29 Agustus 2015):
Saat ini pukul 05.44 WIT, saya buka kelambu yang terpasang kokoh di atas tempat tidur. Saya buka pintu kamar, saya lihat Nomen masih terlelap tidur di ruang depan, begitu juga dengan Ulu yang sedang tidur pulas di dapur. Ulu sengaja tidur di sana, untuk menjaga kucing agar tidak mengambil kebutuhan dapur. Maklum, pintu belakang bagian atasnya tidak tertutup. Saatnya saya mengambil wudhu dan laksanakan shalat subuh dan selanjutnya tidak lupa membaca Al qur’an dan alma’tsurat pagi.   Kemudian saya lanjut mencuci pakaian dan mandi.

Matahari-pun mulai menghamparkan teriknya. Angin selatan sejak kemarin malam bernostalgia di desa ini. Saya bersiap-siap pergi ke sekolah, tiba di sekolah kami langsung masuk ke ruang. Di sana berkumpul kelas 1-6. Selanjutnya, saya guru pertama datang, langsung memulai kegiatan pagi dimulai dari berdo’a sesuai agama nasrani, memberi motivasi dan meminta Savira memimpin lagu nasional dan daerah. Ada dua lagu daerah yang dinyanyikan yakni lagu Suku Moi dan Suku Biak.

Kemudian, kami melaksanakan kerja bakti alias goro yang rutin dilaksanakan tiap hari sabtu. Goro pagi ini diawali mencabut rumput di depan dan di belakang sekolah. Setelah itu, meratakan tanah sembari menanam bunga yang membuat indah sekolah. Kemudian, membakar sampah yang ditumpuk belakang sekolah.

Selanjutnya, saya, Ibu Mobulen dan siswa berfoto di depan sekolah. Betapa senangnya para siswa ketika difoto. Tidak berapa kemudian, para siswa dikumpulkan untuk berdo’a dan selanjutnya pulang ke rumah masing-masing.

Sore harinya, saya bersiap-siap bermain dengan anak-anak di pantai Kuadas belakang sekolah. Melihat keberanian semua anak melawan ombak yang cukup kuat di desa ini.

Hari ke-7 (Minggu, 30 Agustus 2015):
Hari ini adalah hari ketujuh, saya menempati kaki di Desa Kuadas. Desa yang merupakan penduduk asli suku Moi dan semuanya beragama kristen Papua. Pagi ini, saya, Ulu dan Nomen pergi jalan pagi di sekitar Desa Kuadas. Melewati belakang Gereja Desa Kuadas dan tidak lupa berjalan sepanjang jalan lintas menuju Kabupaten Tambrau. Tidak cukup satu jam, kami kembali lagi ke Desa, melewati jalan turun berbatu. Setiba di jalan kampung (desa) saya melihat sekelompok orang yang sibuk di sekitar Pondok BUP, tempat pertama saya berteduh ketika sampai di desa ini. Saya disapa oleh salah seorang anggota BUP (Buku Untuk Papua) yang merupakan komunitas sosial yang berasal dari berbagai usia dan status pekerjaan. 

Komunitas itu adalah independen dan cakupannya sudah nasional. Sumber dana adalah dari para donatur proposal yang dijalankan dan berbagai bentuk wirausaha seperti menjual atribut atau aksesoris Papua. Sebut saja Kakak Danlin, yang merupakan salah seorang anggota BUP dari tujuh orang anggota yang saya jumpai kala itu. Saya memperkenalkan diri sembari melihat kegiatan mereka dalam menyelesaikan pondok bacaan yang akan diresmikan pada minggu ketiga Sepetember 2015. Kemudian, saya pergi ke rumah Bapak Ulimpa dengan tujuan meminta obat sakit kepala yang hampir seminggu sakitnya di dekat telinga. Lalu mama (sebutan untuk istri Bapak Ulimpa) memberi saya tiga rol obat yakni Dexomathon, Asam Mefemanat dan Vitamin B1 dengan syarat 3 kali makan sehari.

Setelah itu, saya dan Ulu diajak sarapan pagi dengan mie rebus serta ditawarkan segelas nescafe panas. Tidak lama kemudian, saya pergi pulang ke rumah untuk istirahat. Siang sampai sore harinya, saya habiskan waktu bersama anak-anak di pinggir laut alias tepi pantai Kuadas sembari melihat anak-anak bernostalgia di tepi laut nan indah dan memesona itu. Selanjutnya, saya berjalan ke atas jembatan yang cukup bagus dijadikan view photo. Saya jumpai di sana sekelompok anak-anak bersama guru pergi picnic ke pantai itu. Ternyata mereka dari kota Sorong yang lagi liburan akhir minggu.

Hari ke-8 (Senin, 31 Agustus 2015):
Hari ini adalah hari senin, di mana merupakan hari pertama saya menjalani aktifitas upacara bendera di SD YPK Kuadas. Begitu mencengangkan, ketika anak-anak sama sekali tidak siap melakukan upacar bendera. Apakah tidak ada latihan sbelumnya atau bagaimana, saya belum ada diperintahkan untuk itu. Maka, pagi inilah saya mencoba melatih siswa dimulai dari PBB nya dan pembacaan UUD 1945. Yang paling mengherankan ketika protokol meminta pembina upacara yang saat itu langsung dipegang oleh Bapak Ulimpa, Kepsek untuk memberi amanat upacara. Tiba-tiba meminta protokol untuk melanjutkan kegiatan seterusnya, sampai pembacaan do’a. Ternyata, hal demikian dilakukan bapak ulimpa melihat kondisi terik matahari yang dirasa membuat siswa pingsan dan ketidaksiapan pelaksanaan upacara bendera pagi itu. Setelah itu, siswa dikumpulkan pada satu kelas dan langsung pemberian amanat oleh Bapak kepsek Ulimpa.           

Beberapa waktu setelah itu, saya, Bapak Antonius Mobilala dan Ibu Treshia Mobalus serta Bapak Wenand Ulimpa masuk ke ruang kantor majelis guru. Di sana kami mengadakan briefing dadakan. Ternyata saya mendapat amanah untuk menjadi walikelas di kelas VI. Sungguh amanah yang baru dan benar-benar menantang sekali, walaupun siswa kelas VI hanya berjumlah 6 orang, tapi ini sangat berat karena mereka harus disiapkan betul untuk mengikuti UN tahun 2016.

Setelah briefing, saya pulang ke rumah, istirahat. Setelah shalat Zuhur, saya ke rumah Bapak Ulimpa karena saat di sekolah beliau mengajak pergi ke Kali tempat sumber air dan listrik di desa Kuadas. Ternyata saat tiba di rumah, saya waktu itu ditemani oleh Savira dan Ana memanggil Bapak Ulimpa ternyata tidak ada sahutan. Lalu Mega, salah seorang siswa di SD YPK mengatakan bahwa Bapak sudah pergi. Mendengar itu, saya ajak Savira dan Ana pergi ke kali tersebut. Di tengah perjalanan, saya mendapati Bapak Ulimpa dan Mama sedang berada di Sungai. Ada mama yang sedang mencuci pakaian dan bapak Ulimpa sedang mencuci sepeda motor. Menunggu Bapak Ulimpa siap, saya menghabiskan waktu di sana sambil bercengkrama dengan Markus, Savira dan Roes sembari bermain air.

Selanjutnya, kami menuju kali bendungan. Melewati hutan dan mengarungi beberapa anak sungai kami lewati, sehingga sampailah di rumah tempat mesin turbin penggerak listrik berada. Tidak sampai ke tempat bendungan, kami balik ke bawah. Saya dan mama Ulimpa dan Marcus serta Reos pun pulang ke rumah masing-masing.

Setiba di rumah, saya yang sedang berpuasa senin-kamis merasa sangat letih sekali. Saya lakukan istirahat sebentar dan shalat ashar. Pukul 17.00 WIT saya mulai aktifitas memasak. Memasak nasi, menggoreng ikan dna merebus daun kasbi (daun singkong) yang dibawa Ulu dari kebun Mama nya.


Hari ke-9 (Selasa, 1 September 2015):
Hari ini saya ke sekolah mengajar pertama kelas VI SD YPK Bukit Sion Kuadas. Memulai mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, lanjut pelajaran IPA dan belajar KTK. Aku sebenarnya belum banyak memiliki bekal ilmu mengajar SD karena maklum aku bukanlah ex.mahasiswa dari jurusan PGSD. Namun, melalui SM-3T ini tiada pembeda disiplin ilmu. Ketika aku berada di lingkungan ini, aku harus bisa dan berupaya untuk profesional menjadi pendidik siswa/I SD. Bagaimana-pun caranya, karena predikat guru SM-3T sudah dicap sebagai orang yang serba bisa. Tidak hanya dalam hal akademik tapi juga dalam hal non-akademik atau kemasyarakatan (Sosial). Pagi ini kucoba mengajar Bahasa Indonesia, melalui ilmu seadanya dan berpedoman pada buku Bahasa Indonesia SD kelas VI KTSP 2006, ku coba menguraikan materi semampuku. Begitu juga dengan pelajaran IPA. Aku ajak siswa mengamati lingkungan sekitar karena materi pagi ini adalah mengenai tumbuhan. Aku meminta siswa ke luar kelas dan mencatat mana yang termasuk tumbuhan hidup dan tumbuhan mati. Ternyata di antara mereka tidak banyak yang bisa menemukan tumbuhan mati. Lalu aku minta masing-masing mereka menuliskannya ke papan tulis untuk diperiksa.

Selanjutnya, pelajaran KTK. Aku awali dengan apa itu KTK dan pembagian seni. Ada seni drama, seni tari dna musik. Namun, kali ini aku meminta siswa menyanyikan lagu wajib nasional dan lagu daerah Papua. Ada sekitar lima lagu Papua yang mereka nyanyikan yakni lagu Nemol Wana, Pau Maladum, Papuse, Aku Papua dan ada satu lagu di mana aku lupa judulnya. Begitu semangatnya mereka menyanyikan lagu, mesti ada yang masih malu-malu dan tersenyum sambil menyanyikan lagu daerah mutiara hitam Indonesia itu.

Malam harinya, Bapak Wenand Ulimpa datang ke rumah untuk memprint data LPJ Bosda periode Januari-Juni 2015 dan memprint data jemaat GKI (Gereja Kristen Injili) Papua. Perdana juga aku mencatat nama-nama jemaat gereja Bukit Sion Kuadas dan nama-nama Pnt. (Penator) dan Sym. (???). Ternyata, saat mau memprint, tinta habis. Aku isi tinta hitam, tapi tidak bisa bergerak kartrij nya. Aku telepon Icha di kampung Padangpanjang dan aku tanya bagaimana mengatasinya, namun juga tidak bisa. Lalu bapak Ulimpa, memintaku besok harinya untuk memperbaiki sembari membersihkan printer. Maklum di sini satu lembar hitam putih saja harganya Rp.4000,- kata Bapak Ulimpa. Begitu mahalnya…itu-pun masih di pusat Kota Sorong.

Ketika hendak pulang ke rumahnya, Bapak Ulimpa memberiku uang Rp.100.000,- untuk membeli kebutuhan harianku agar dititip sama Bapak Antonius, guru Olahraga yang sering mengantar sang istri mengajar ke SMP  1 Makbon dengan mengendarai Jongson (Perahu) menuju distrik Makbon.

Hari ke-10 (Rabu, 2 September 2015):
Pagi ini agak berbeda daripada biasanyam tubuh terasa lemas, lapar. Padahal sudah sarapan pagi dengan kopi cenkudu dan biskuit sekolah pemberian Bapak Ulimpa. Lalu saat istirahat, aku pergi ke rumah dan langsung makan. Selanjutnya, aku kembali lagi ke sekolah dalam mata pelajaran IPS dan Matematika.

Writer: Hasan Asyhari, S.Pd (Guru SM-3T UNP V, penempatan Kampung Kuadas, Distrik (Kecaamatan) Makbon, Kab. Sorong, Papua Barat.

0 comments:

Post a Comment