Akademik
VS Organisator
Menjadi mahasiswa
ideal agaknya selalu menarik untuk diperbincangkan. Dalam konteks akademik,
mahasiswa mempunyai tanggung jawab terhadap almamaternya maupun terhadap diri
sendiri dan orang tua agar kuliahnya menghasilkan predikat memuaskan dan tepat
waktu.
Tapi, di sisi
lain mahasiswa mempunyai label ”agent social of change” yang juga tak
kalah penting mereka lakukan. Kondisi ini masuk pada ranah kedudukan mahasiswa
sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan predikat ini sudah mengakar pada
masyarakat umum bahwa mahasiswa merupakan garda terdepan dalam menatap
perubahan masa depan bangsa.
Masyarakat memandang
mahasiswa itu bisa segala-galanya, baik dalam persoalan keilmuan maupun dalam
urusan sosial. Dengan demikian ketika mahasiswa menjadi sarjana, mereka harus
mampu merespon sekian persolan sosial yang terjadi di sekitar lingkungannya.
Sementara, pada tataran tanggung jawab akademik mahasiswa dihadapkan pada
kehidupan masa depan mereka. Selesai kuliah, bekerja atau menambah daftar pengangguran
terdidik? Artinya, pada wilayah ini mahasiswa bersentuhan yang namanya dunia
kerja. Bicara dunia kerja terkait dengan kemampuan akademik dan IPK.
Bagi mahasiswa
yang memiliki kesadaran sosial (social awareness), paradigma yang
dibangun adalah selain belajar juga diimbangi (balance) dengan kegiatan
sosial, dengan harapan mereka dapat melaksanakan label yang selama ini dimiliki
mahasiswa, yaitu sebagai agen perubahan sosial. Pada konteks ini mahasiswa
dihadapkan problem benturan aturan akademik yang mengekang kreativitas
mahasiswa.
Dari dua
dimensi tanggung jawab itulah, kemudian melahirkan beberapa tipikal mahasiswa. Pertama,
Mahasiswa akademik ansich. Mahasiswa model ini biasanya rajin ke
kampus. Ada yang menyebutnya mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang), mahasiswa
segi tiga K (Kuliah, Kantin, dan Kos). Datang tepat waktu, semua tugas
dikerjakan, catatan lengkap, dan manut pada dosen. biasanya diakhir
semester menjadi incaran banyak mahasiswa untuk sekedar memfotokopi bahan
kuliah dan dijadikan mitra menjawab soal UAS. Mahasiswa berkarakter tadi masih
termasuk mahasiswa tipe pertama yang sering disebut mahasiswa anak dosen,
karena tipe mahasiswa seperti itu biasanya diambil menjadi asisten dosen, selesai
melanjutkan akademik, kemudian menjadi dosen.
Masih dalam
tipe pertama, mahasiswa model ini cenderung terjebak pada ranah formalitas dan
menganggap bahwa ruang kuliah, sebut saja dosen merupakan medium satu-satunya
sumber ilmu. Kehidupan di kampus sebatas ajang bergaul dengan teman-teman satu
kelas, karena tidak mengikuti kegiatan apapun di kampus, kecuali kuliah. Mind-set
yang dibangun pun bersifat datar (pada umumnya), yaitu IPK coumlade, kuliah
tepat waktu, lulus jadi PNS misalnya.
Padahal,
kehidupan setelah kuliah tidak semudah dibayangkan. Fakta mengatakan,
seringkali mahasiswa tipe pertama ini gagal ketika berhadapan pada persoalan
nyata yang terjadi di masyarakat. Padahal mahasiswa mempunyai tanggung jawab
sosial, selesai kuliah diharapkan bisa membangun kampung-nya, pada level lebih
besar membangun provinsi, agama dan negaranya. Begitu juga dalam dunia kerja,
ketika ia gagal dalam persaingan sesuai jurusannya, otomatis menjadi
pengangguran terbuka, karena tidak mempunyai skill yang lain (monotonous
capability).
Kecendrungan
negatif adalah gengsi bekerja kalau itu bukan bidangnya, lebih baik nganggur
dari pada menahan malu. Hal itu terjadi, karena paradigma yang terbentuk
adalah pada orientasi (orientation) bukan kesadaran (awareness).
Kesadaran dalam artian, mampu membaca peluang, kuliah tidak semata jalan
mencari pekerjaan, memberikan kontribusi pada masyarakat (social
responsebility), bekerja apapun (entrepreneur) yang penting
bermanfaat dan positif.
Kedua, Mahasiswa
aktivis kampus atau sering juga disebut organisator. Tipekal mahasiswa ini
memiliki kesadaran sosial bahwa label mahasiswa tidak hanya mempunyai tugas
akademik, tapi ada tugas sosial. Satu sisi ada persoalan lain kesadaran yang
dibangun kebablasan. Segudang agenda kegiatannya dalam berorganisasi
terkadang melupakan tugas utamanya, yaitu kuliah. Ia tidak bisa lagi me-menej
dri antara aktifitas organisasi dna kuliah (akademik). Mahasiswa aktivis kampus
seperti inilah yang membedakan dengan mahasiswa aktivis angkatan para founding
fathers kita. Mereka aktivis, tapi tetap fokus pada akademik-nya.
Sebut saja Bung
Karno, ranah akademik-nya melahirkan Insinyur Teknik, Hatta kemampuan dalam
bidang ekonomi tidak bisa diragukan lagi, dan Syahrir kapasitas dalam
diplomasi, membuatnya sering mewakili Indonesia dalam pertemuan Internasional.
Mereka adalah orang-orang yang getol dalam kegiatan sosial demi memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, akan tapi tidak meninggalkan dunia akademiknya.
Kedua tipikal
mahasiswa di atas setidaknya menjadi gambaran bagi mahasiswa era kini, mana
yang menjadi nilai plus dan mana yang akan menghambat prospek kesuksesan ke
depannya. Menjadi sang organisator yang lihai dalam akademik akan mempermudah
jalan hidup untuk menuju gerbang pasca kampus. Akademik Yes, Organisasi Ok!
Salam mahasiswa sukses! (Hasan Asyhari,
pegiat Forum Aktif Menulis Indonesia)