Thursday, March 15, 2018


Hari Bahasa Ibu,  Perkokoh Kearifan Lokal Indonesia

Oleh:
Hasan Asyhari, S.Pd., Gr.
(Guru Sosiologi SMA IT Gema Nurani Bekasi)



Bahasa merupakan salah satu unsur budaya universal seperti yang dikemukakan oleh seorang antropolog bernama C. Kluckhohn. Dalam karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture dan terbit tahun 1953, beliau menempatkan bahasa sebagai budaya universal. Walau seprimitif kebudayaan suatu masyarakat, tetap memiliki unsur bahasa. Yang membedakannya adalah tingkat kekompleksitasnya. Semakin modern kebudayaan suatu masyarakat, maka semakin berkembang bahasanya. Bahasa yang berkembang itu juga menentukan sikap masyarakat dalam bertingkah laku. Bahasa di dunia sangatlah banyak. Mulai dari bahasa internasional hingga bahasa tradisional, itu lah yang dikenal dengan bahasa ibu atau bahasa daerah tempat lahir hingga dewasa yang dialami seseorang. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga agar bahasa ibu tetap ada, salah satunya melalui peringatan hari bahasa ibu internasional.

Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother’s Language Day). Masih banyak orang yang belum tahu akan momen peringatan tersebut. Masyarakat Indonesia terkhusus pegiat media sosialpun masih banyak yang tercengang. Saat penulis mengunggah di status whatapps yang pamflet online tentang peringatan hari bahasa Ibu yang diposting admin Instagram @Kemdikbdud.ri melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Ada beberapa teman di kontak  whatapps yang bertanya, kemudian penulis menjawab sepengetahuan penulis. Momen peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional tepat digelar tanggal 21 Februari kemarin di seluruh penjuru dunia. Hari Bahasa Ibu Internasional sudah sejak 17 November 1999 ditetapkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Sebagaimana dilansir dari http://citizen6.liputan6.com., momen peringatan hari Bahasa Ibu Internasional dilatarbelakangi pada tragedi tanggal 21 Februari 1952, mahasiswa dan masyarakat di Bengali Timur (sekarang Bangladesh) turun ke jalan untuk memprotes peminggiran bahasa Bengali oleh pemerintah pusat Pakistan yang hanya mengakui bahasa Urdu. Sejumlah mahasiswa tewas menjadi korban kekerasan aparat dalam gerakan bahasa tersebut. Karena itulah, UNESCO memilih tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Lewat peringatan tersebut, UNESCO tahun ini mengulangi kembali komitmennya terhadap keragaman bahasa dan mengundang negara-negara anggotanya untuk merayakannya sebanyak mungkin. Hal tersebut juga sebagai pengingat bahwa keragaman bahasa dan multilingualisme sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan. Itu sekilas sejarah kemunculan istilah peringatan hari bahasa ibu internasional. Banyak negara yang memperingatinya sebagai wujud rasa empati terhadap peristiwa tersebut, terkhusus di Indonesia.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas ratusan suku bangsa baik besar maupun kecil. Keberagaman suku bangsa membuat Indonesia memiliki bahasa yang beragam pula. Bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masayarakat dalam suku bangsa tersebut. Sebut saja Bahasa gayo di Aceh, bahasa Minang di Sumatera Barat, bahasa batak di Sumatera Utara, bahasa Sunda di jawa Barat, bahasa betawi di DKI Jakarta, bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, hingga bahasa Papua di Papua. Selain dari bahasa umum tiap daerah atau provinsi, tiap sub suku bangsapun memiliki bahasa dengan pemaknaan yang berbeda. Seperti di Sumatera Barat, ada yang memaknai cape atau lelah atau letih dengan sebutan “litak.” Namun, di daerah lain di Sumbar kata “litak” berarti lapar (belum makan). Adanya perbedaan makna dalam bahasa tiap suku bangsa dan daerah di Indonesia, menunjukkan keunikan budaya lokal yang dikemas dalam konsep “multilingualistik atau multilingualisme.” Perbedaan makna dalam bahasa ini juga menentukan sikap berperilaku masyarakat setempat. Ketika masyarakat menafsirkan “litak” sebagai lapar, sebagian masyarakat menafsirkan “litak” sebagai letih atau lelah. Bukti lain, di Papua dengan bahasa umum Papua menyebut saya dengan sebutan “sa atau za,” kata pergi dengan sebutan “pi.” Bahasa-bahasa seperti itu yang perlu dilestarikan sehingga tidak punah di makan zaman. Penggunaan bahasa ibu di tiap lingkup keluarga, membuktikan bahwa keluarga salah satu agen pewaris bahasa Ibu.

Fenomena miris penggunaan bahasa ibu juga cenderung terjadi di daerah perantauan. Kerika si anak dilahirkan di daerah rantauan, tinggal dan besar di daerah rantauan. Kemirisan terjadi ketika orangtua tidak mau mengajari bahasa daerah (ibu) di dalam keluarga di rumah.  Dengan begitu, jelas si anak tidak bisa mengenal bahasa ibunya. Namun, sebagian keluarga di perantauan, masih menggunakan bahasa ibu terhadap anak-anaknya di rumah. Walau logat bahasa Ibu tidak begitu kental, tapi setidaknya sudah mampu menanamkan nilai-nilai kearifan bahasa lokal pada diri si anak. 

Fenomena peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional di Indonesia. Sebagaimana yang saya lansir dari website Tribun Jateng. Di Karang Taruna RW 03, Jatiwayang, Kelurahan Ngemplak, Simongan, Kota Semarang menggelar kegiatan peringatan hari bahasa ibu internasional.. Kegiatan tersebut bertajuk “bahasa Ibu Ora Wagu.” Dalam kegiatan tersebut, panitia acara menyuguhkan pertunjukan kepada anak-anak sekitar dengan bahasa Jawa. Melalui pertunjukan tersebut akan dapat merangsang anak-anak mengenal kembali bahasa daerahnya. Bahasa Ibu memiliki nilai yang sangat kuat di masyarakat. Mengenalkan budaya dan bahasa Ibu  ke anak-anak dianggap sangat perlu dilakukan. Mengingat perkembangan arus globalisasi, ketika tidak diimbangi penanaman budaya (bahasa) lokal, bisa membuat bahasa tersebut hilang begitu saja. Serta bisa jadi anak-anak kehilangan ruh untuk menggali dan menggunakan bahasa lokal tersebut.  Pentingnya budaya bagi masyarakat Jawa, seperti  saling menghormati. Ewuh pewekuh, tepo seliro, empan mapan merupakan budaya yang melekat sudah lama yang harus diterapkan dan dilakukan. Makna dari istilah Jawa tersebut adalah dalam hidup harus saling bertoleransi sesame manusia lain.
 
            Dengan begitu momen peringatan hari bahasa ibu internasional, membuat orang kembali sadar akan bahasa ibu atau bahasa lokal setempat yang konon dianggap biasa, namun sangat berharga demi masa depan bangsa Indonesia sehingga kearifan budaya lokal Indonesia terutama bahasa ibu dapat kokoh di tengah pesatnya pengaruh zaman.

Sunday, July 17, 2016


JP/Sorong-Setelah sukses dengan penyaluran donasi pendidikan “1000 Paket Sekolah untuk Papua Tahap I pada tanggal 30 April 2016 yang lalu,” guru muda yang terhimpun dalam program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) dari Universitas Negeri Padang (UNP) Angkatan V Wilayah Kabupaten Sorong, Propinsi Papua Barat ini kembali salurkan donasi pendidikan yang kedua kalinya. 
 
Donasi tersebut dilaksanakan di SD YPK Immanuel Buk, Kampung Buk, Distrik Buk, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua Barat (Sabtu, 16 Juli 2016). Guru SM-3T asal Ranah Minang ini melakukan pengumpulan donasi sejak awal bulan Mei hingga awal bulan Juli 2016. 

Dana tersebut untuk pembelian paket sekolah seperti seragam sekolah, buku tulis, susu kotak dan transportasi perjalanan ke lokasi penyaluran donasi. Pendanaan juga bersumber dari iuran panitia dan guru-guru SM-3T yang tidak terlibat dalam kepanitiaan.    

Kepanitiaan pada donasi pendidikan tahap II ini terdiri atas Ketua (Andre Dhira Darma, S.Pd.), Sekretaris (Hasan Asyhari, S.Pd.), Bendahara (Nofia Lola Putri, S.Pd.), Kordinator Divisi Acara (Nanang Septyadi, S.Pd.), Koordinator Divisi Perlengkapan (Dion Saputra, S.Pd.), Koordinator Divisi Transportasi (Riki Oktaviandri, S.Pd.), Koordinator Divisi Dokumentasi (Agung Mulya, S.Pd.) dan Koordinator Divisi Konsumsi (Jonni Arianto Rangkuty, S.Pd.)

Kedatangan rombongan guru SM-3T UNP ini disambut meriah dengan ditampilkannya tarian “Tokok Sagu” yang melambangkan tuntutlah ilmu sebanyak-banyaknya agar tidak ketinggalan zaman. Rombongan-pun terkesima dengan aksi tersebut. Selanjutnya, rombongan istirahat di rumah dinas sekolah. 

Kegiatan ini dihadiri Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sorong yang diwakili Kepala Seksi Manajemen Pelayanan Pendidikan Dasar, Kepala Kampung Buk, Ketua PHMJ Immanuel Buk, Kepala SD YPK Immanuel Buk, Panitia Pelaksana, masyarakat se-distrik Buk, siswa/i SD YPK Immanuel Buk dan SMP YPK Satap Buk.
 
“Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman SM-3T yang memiliki perhatian pada SD YPK Immanuel Buk. Ini baru pertama kali diadakan sejak SM-3T jilid II-IV di Distrik Buk,” apresiasi Kepala SD YPK Immanuel Buk, Bapak Barnabas Yable, S.Pd. 

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sorong yang diwakili Kepala Seksi Manajemen Pelayanan Pendidikan Dasar juga mengucapkan terima kasih kepada guru-guru SM-3T UNP yang telah membawa anak-anak di Kabupaten Sorong ke masa depan yang lebih baik. 

Selanjutnya, Andre Dhira Darma, S.Pd., Ketua Panitia Pelaksana Donasi Pendidikan Tahap II ini melaporkan bahwa donasi Pendidikan yang diberikan berupa seragam sekolah, buku tulis dan pakaian untuk masyarakat Buk. 

Setelah itu penyerahan donasi pendidikan dari Ketua Panitia Pelaksana kepada Kepala Dinas Pendidikan atau yang mewakili, Kepala Kampung Buk dan Kepala SD YPK Immanuel Buk yang diserahkan secara simbolis kepada tiga siswa/i SD YPK Immanuel Buk. Kemudian dari masyarakat Buk memberikan cindera mata berupa noken kepada Ketua Panitia Pelaksana Donasi. Acara ditutup dengan foto bersama dan juga dimeriahkan penampilan tari Yospan dari tim tari SD YPK Immanuel Buk dan SMP YPK Satap Buk. (Hasan Asyhari)
 

Friday, April 15, 2016


JP/Sorong-Sarjana Mendidik daerah Terdepan, Tertinggal dan Terluar (SM-3T) Indonesia asal LPTK (Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) Universitas Negeri Padang mengadakan program peduli pendidikan Papua Barat bertajuk “Donasi 1000 Paket Sekolah untuk Papua Barat.” Kegiatan ini nantinya akan dipusatkan pada  Kabupaten Sorong sebagai daerah pengabdiannya.

Kabupaten Sorong merupakan salah satu Kabupaten di provinsi Papua Barat. Keberadaan sekolah di kabupaten ini tidak semua yang berada di pusat kabupaten, akan tetapi juga menyebar di berbagai distrik (kecamatan) yang melewati gunung (bukit) dan laut.

Kondisi seperti di atas salah satu yang menyebabkan ketidakmerataan fasilitas pendidikan terutama di daerah yang jauh akses lokasinya. Apalagi sekolah yang berada di pulau-pulau dan harus melewati akses laut untuk sampai ke sana.

Masalah akses atau jalur transportasi adalah secuil dari beberapa masalah pendidikan di daerah luar dari pusat kabupaten. Masalah ekonomi-pun juga menjadi salah satu masalah utama pendidikan di kabupaten itu. Serta juga kekurangan tenaga pengajar (guru), buku belajar dan buku tulis, seragam sekolah serta fasilitas sekolah yang masih minim adanya.

Melihat kondisi demikian, guru-guru muda asal ranah Minang, Sumatera Barat yang tergabung dalam guru SM-3T Indonesia jilid lima mengadakan program tersebut. Program itu berupa penggalangan dana maupun benda berwujud seperti alat tulis, seragam sekolah dan lain sebagainya yang nantinya akan diberikan secara langsung ke beberapa sekolah yang telah menjadi pemetaan.

Evin Narius, S.Pd, koordinator SM-3T UNP untuk Kabupaten Sorong, Papua Barat menghimbau seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut berdonasi dan juga turut mendukung program mulia tersebut seperti menyebarkan informasi ini secara masif. Program peduli pendidikan Papua Barat itu berlangsung sampai bulan Juli 2016.

Sosialisasi program dan pengumpulan donasi sudah dimulai sejak hari Rabu (13/04/2016) kemarin melalui media sosial yang ada seperti facebook, BBM, Instagram dan lainnya.


Saluran dana bisa ditransfer melalui rekening bank bendahara SM-3T UNP Sorong via BRI atas nama  Sari Rahmanida (1269-01010660-5-34). Seribu rupiah-pun sangat berarti bagi kemajuan pendidikan anak-anak di pedalaman Kabupaten Sorong khususnya. (HASAN ASYHARI)

Sunday, January 24, 2016


Hari ke-1 (Senin, 24 Agustus 2015):
Hari ini adalah babak awal bagiku. Allah swt adalah Tuhan Maha Pengatur segala gerak kehidupan ini. Hal yang tidak aku duga malah aku elakkan, akhirnya terjadi sudah.

Dua hari sudah aku di LPTQ distrik Aimas, akhirnya aku dijemput oleh Bapak Kepsek SD YPK Bukit Sion, Kuadas, Bapak Wenand Ulimpa, S.Pd.K dengan mengendarai sebuah mobil sewa. Bersama istri Bapak Kepsek yang juga merupakan seorang perawat PNS di Polindes di desa Kuadas. Saat penjemputan ada yang unik, teman-teman di LPTQ terkejut melihat orangtua angkatku berkulit hitam, benar-benar penduduk asli Papua yang cukup berbeda dibanding orangtua angkat (Kepsek masing-masing) teman-temanku. Namun, ibuk Armiati, yang merupakan salah satu dari dua orang dosen pendamping mengajakku berfoto mereka dan teman-teman.


Kemudian, kami pergi menuju sekolah sasaran (penugasan/ penempatan). Ketika itu desa Kuadas diprediksi Bapak Wenand hujan dengan potensi cukup lebat. Prediksi itu, cukup tepat. Melewati KM 0 hingga sampai KM 40, serasa setengah mati (bahasa orang di Desa Kuadas). Jalanan yang berbelok, berlubang besar dan diisi oleh kubangan air hujan, sekitar jalan sering dijumpai tumpukan material jalan. Alhamdulillah, bisa kami lewati dengan selamat mesti dipenuhi rasa sesak, cemas dan takut. Di atas mobil, saya bercengkrama dengan Bapak dan Ibuk Wenand. Ternyata mereka memiliki tiga orang anak, ada yang kuliah, SMA dan SMP. Mereka memiliki dua rumah, di Sorong dan di Kuadas, tepatnya di atas sekolah. Sekitar jam 18.45 WIT, kami sampai di Desa Kuadas. Sesampai di sana, kami mengambil kunci rumah dinas Kepsek dan langsung menuju rumah tersebut.
Saat datang, saya disambut oleh Komite sekolah dan beberapa orang siswa diantaranya Jois dan Alu. Tidak lama kemudian, Bapak dan Ibu Wenand Ulimpa balik lagi ke Sorong, karena masih ada urusan pertemuan di Dinas Pendidikan Kab. Sorong. Tinggallah aku bersama dua orang siswa yang akan menemaniku malam ini. Bercengkerama sebentar dengan mereka dan lanjut tidur.


Hari ke-2 (Selasa, 25 Agustus 2015):

Tidak terasa hari sudah menunjukkan pukul 05.30 WIT. Keletihan di perjalanan membuat aku tidur pulas dan alhamdulillah badan-pun mulai terasa lega. Pagi ini cukup sibuk karena harus bersih-bersih rumah, memasak dan mencuci. Alhamdulillah sang surya cukup bersahabat kala itu. Sore harinya, saya pergi mengitari sekolah dan menyempatkan diri untuk memotret sisi-sisi sekolah termasuk kuburan besar bertulis batu nisan Philipus Mobilala yang sekaligus merupakan nama jalan di Kuadas. Kemudian, saya memotret pantai nan indah dan sorotan rumah di distrik Makbon tempat dua orang SM-3T UNP mengabdi yakni bang Sutrisno dan Irwandi yang mengajar di sekolah yang berbeda. Malam harinya kita makan bersama dan aku mulai mengansur-angsur mengerjakan laporan, mana tahu saat Monev akan diminta.

Hari ke-3 (Rabu, 26 Agustus 2015):
Hari ini saya dan dua orang siswa bernama Alu dan Nomen masak sambal pagi-pagi. Saya masak nasi goreng, sementara Alu dan Nomen sibuk memasak sayur singkong dengan gaya khas masakan sayur di desa Kaudas. Sehabis makan, saya bersiap-siap pergi ke sekolah yang sangat dekat dari rumah tempat saya tinggal. Menggunakan seragam mengajar warna coklat tua dengan disapit papan nama. Saya berkenalan dengan Ibu Mobillus yang merupakan salah satu guru PNS di sekolah swasta bernuansa kristen ini. Ibu Mobillus memberi saya sayur tumis parutan pepaya muda. Rasanya manis dan cukup enak. Awalnya rada hati-hati, seiring waktu bakal bisa menyesuaikan diri

Setelah itu, aku kembali ke rumah dinas, istirahat. Setelah shalat zuhur baru masak nasi. Kemudian melanjutkan menulis catatan harian. Tidak lama kemudian, hujan lebat-pun datang.

Hari ke-4 (Kamis, 27 Agustus 2015):
Pagi ini hari menunjukkan pukul 07.45 WIT. Selepas sarapan pagi, saya bersiap-siap menuju sekolah. Tiba di sekolah saya bertemu Ibu Mobilus, wali kelas kelas VI yang mengatakan bahwa nanti anak-anak akan dikumpulkan dalam satu kelas untuk perkenalan dengan saya dan siswa-siswi. Antusias siswa ketika saya masuk cukup besar. Saya meminta seorang siswa memimpin untuk menyanyikan lagu nasional. Alhamdulillah, mereka pada hafal. Setelah itu ibu Mobilen, wali kelas kelas 1-4 meminta saya mengajar di kelas V. Akhirnya, saya masuk lokal. Hal pertama yang saya lakukan adalah meminta siswa membuat biodata di kertas yang sudah saya bagikan. Alamak, begitu lamanya. Hampir setengah jam lebih saya menunggu para siswa untuk mengumpulkan kertas tadi. Maklum, kata ibu Mobillen, masih ada siswa yang belum mahir membaca. Kemudian, saya melakukan game talking stop (memainkan spidol secara bergiliran sampai muncul kata stop/ berhenti). Akhirnya dapatlah dua orang siswa mewakili lima orang temannya untuk membacakan biodatanya.
Sore harinya, selepas shalat ashar saya menggunakan waktu untuk bersilaturrahmi ke rumah bapak kepala sekolah, Bapak Wenand Ulimpa, S.Pd.K yang juga merupakan guru Pendidikan Agama Kristen di sekolah itu. Kemudian, menghabiskan waktu untuk untuk melanjutkan menulis catatan harian, etnografi dan catatan perjalanan pribadi saya.

Hari ke-5 (Jum’at, 28 Agustus 2015):
Rencana Allah swt sungguh lebih baik daripada rencana manusia. Kekhawatiran tidak bisa melaksanakan ibadah shalat Jum’at yang merupakan ibadah wajib bagi laki-laki muslim. Alhamdulillah saya mendapat izin dari Bapak Ulimpa, untuk mengikuti ibadah shalat jum’at. Pagi ini pukul 05.00 WIT saya bangun tidur, shalat subuh dan siap-siap meunggu taksi alias angkutan umum yang hanya sekali pergi dna sekali datang tiap hari kecuali hari Minggu, pak Sopir libur karena melaksanakan ibadah rohani di gereja. Tidak lama menunggu, akhirnya sang mobil datang. Bapak guru, bapak guru di depan duduk,” kata seorang perempuan muda yang ketika itu sedang duduk di bangku depan. “Benar-benar saya sangat dihargai,” ucap saya dalam hati.

Melewati jalanan yang cukup meakutkan dengan tikungan yang lumayan tajam. Jalan tidak semua beraspal, karena para pekerja sedang memperlebar jalan. Masih tampak tumpukan material seperti pasir, semen, batu dan tanah galian yang berjejer di tepian bahkan di tengah jalan. Di sekeliling jalan sebagiannya diapit oleh dua jurang yang cukup dalam. Betapa tidak memacu adrenalin. Rasa takut dan cemas terjatuh sempat memompai tubuh. Alhamdulillah, menikmati perjalanan nan penuh kecemasan itu, akhirnya dua jam setelah itu saya sampai di pasar sentral kota Soorng. Wah, ternyata pasar ini serupa dengan pasar raya kota Padang. Luas, banyak barang jualan dan beragam suku bangsa lalu lalang di sekitar pasar. Setelah membeli kebutuhan harian. Saya bertanya pada tukang karcis taksi, “Bapak, di mana rumah makan Padang toh?,” tanya saya cepat. “Di sana, dekat pohon mangga,” jawab sang Bapak. Saya-pun mendapati rumah makan Padang itu dan memesan nasi pakai sambal daging rendang dengan harga Rp.23.000,- tanpa nasi tambah dengan segelas air putih dingin. Sembari makan saya sempati bertanya dan  bercerita ternyata penjualnya adalah orang Danau Singkarak yang sudah 23 tahun menetap di Kota Sorong itu.
 Kemudian, saya minta no hp karena tiap bulan ada pengajian yang diadakan oleh perantau Minang di kota itu. Saya-pun bersiap-siap melaksanakan shalat Jum’at di masjid At Taqwa yang tidak begitu jauh dari rumah makan itu, yakni hanya menyeberangi satu jalan raya. Selepas shalat, saya jemput tas dna barang bawaan yang dititip di warung Rumah Makan Padang tadi dna bersiap menuju terminal taksi yang juga tidak begitu jauh. Selanjutnya, saya masih menunggu penumpang yang lain. Tetapi saya lebih melanjutkan perjalanan mengitari pasar dan membeli tambahan kebutuhan harian. Akhirnya, saya  pulang lagi ke dusun Kuadas.

Hari ke-6 (Sabtu, 29 Agustus 2015):
Saat ini pukul 05.44 WIT, saya buka kelambu yang terpasang kokoh di atas tempat tidur. Saya buka pintu kamar, saya lihat Nomen masih terlelap tidur di ruang depan, begitu juga dengan Ulu yang sedang tidur pulas di dapur. Ulu sengaja tidur di sana, untuk menjaga kucing agar tidak mengambil kebutuhan dapur. Maklum, pintu belakang bagian atasnya tidak tertutup. Saatnya saya mengambil wudhu dan laksanakan shalat subuh dan selanjutnya tidak lupa membaca Al qur’an dan alma’tsurat pagi.   Kemudian saya lanjut mencuci pakaian dan mandi.

Matahari-pun mulai menghamparkan teriknya. Angin selatan sejak kemarin malam bernostalgia di desa ini. Saya bersiap-siap pergi ke sekolah, tiba di sekolah kami langsung masuk ke ruang. Di sana berkumpul kelas 1-6. Selanjutnya, saya guru pertama datang, langsung memulai kegiatan pagi dimulai dari berdo’a sesuai agama nasrani, memberi motivasi dan meminta Savira memimpin lagu nasional dan daerah. Ada dua lagu daerah yang dinyanyikan yakni lagu Suku Moi dan Suku Biak.

Kemudian, kami melaksanakan kerja bakti alias goro yang rutin dilaksanakan tiap hari sabtu. Goro pagi ini diawali mencabut rumput di depan dan di belakang sekolah. Setelah itu, meratakan tanah sembari menanam bunga yang membuat indah sekolah. Kemudian, membakar sampah yang ditumpuk belakang sekolah.

Selanjutnya, saya, Ibu Mobulen dan siswa berfoto di depan sekolah. Betapa senangnya para siswa ketika difoto. Tidak berapa kemudian, para siswa dikumpulkan untuk berdo’a dan selanjutnya pulang ke rumah masing-masing.

Sore harinya, saya bersiap-siap bermain dengan anak-anak di pantai Kuadas belakang sekolah. Melihat keberanian semua anak melawan ombak yang cukup kuat di desa ini.

Hari ke-7 (Minggu, 30 Agustus 2015):
Hari ini adalah hari ketujuh, saya menempati kaki di Desa Kuadas. Desa yang merupakan penduduk asli suku Moi dan semuanya beragama kristen Papua. Pagi ini, saya, Ulu dan Nomen pergi jalan pagi di sekitar Desa Kuadas. Melewati belakang Gereja Desa Kuadas dan tidak lupa berjalan sepanjang jalan lintas menuju Kabupaten Tambrau. Tidak cukup satu jam, kami kembali lagi ke Desa, melewati jalan turun berbatu. Setiba di jalan kampung (desa) saya melihat sekelompok orang yang sibuk di sekitar Pondok BUP, tempat pertama saya berteduh ketika sampai di desa ini. Saya disapa oleh salah seorang anggota BUP (Buku Untuk Papua) yang merupakan komunitas sosial yang berasal dari berbagai usia dan status pekerjaan. 

Komunitas itu adalah independen dan cakupannya sudah nasional. Sumber dana adalah dari para donatur proposal yang dijalankan dan berbagai bentuk wirausaha seperti menjual atribut atau aksesoris Papua. Sebut saja Kakak Danlin, yang merupakan salah seorang anggota BUP dari tujuh orang anggota yang saya jumpai kala itu. Saya memperkenalkan diri sembari melihat kegiatan mereka dalam menyelesaikan pondok bacaan yang akan diresmikan pada minggu ketiga Sepetember 2015. Kemudian, saya pergi ke rumah Bapak Ulimpa dengan tujuan meminta obat sakit kepala yang hampir seminggu sakitnya di dekat telinga. Lalu mama (sebutan untuk istri Bapak Ulimpa) memberi saya tiga rol obat yakni Dexomathon, Asam Mefemanat dan Vitamin B1 dengan syarat 3 kali makan sehari.

Setelah itu, saya dan Ulu diajak sarapan pagi dengan mie rebus serta ditawarkan segelas nescafe panas. Tidak lama kemudian, saya pergi pulang ke rumah untuk istirahat. Siang sampai sore harinya, saya habiskan waktu bersama anak-anak di pinggir laut alias tepi pantai Kuadas sembari melihat anak-anak bernostalgia di tepi laut nan indah dan memesona itu. Selanjutnya, saya berjalan ke atas jembatan yang cukup bagus dijadikan view photo. Saya jumpai di sana sekelompok anak-anak bersama guru pergi picnic ke pantai itu. Ternyata mereka dari kota Sorong yang lagi liburan akhir minggu.

Hari ke-8 (Senin, 31 Agustus 2015):
Hari ini adalah hari senin, di mana merupakan hari pertama saya menjalani aktifitas upacara bendera di SD YPK Kuadas. Begitu mencengangkan, ketika anak-anak sama sekali tidak siap melakukan upacar bendera. Apakah tidak ada latihan sbelumnya atau bagaimana, saya belum ada diperintahkan untuk itu. Maka, pagi inilah saya mencoba melatih siswa dimulai dari PBB nya dan pembacaan UUD 1945. Yang paling mengherankan ketika protokol meminta pembina upacara yang saat itu langsung dipegang oleh Bapak Ulimpa, Kepsek untuk memberi amanat upacara. Tiba-tiba meminta protokol untuk melanjutkan kegiatan seterusnya, sampai pembacaan do’a. Ternyata, hal demikian dilakukan bapak ulimpa melihat kondisi terik matahari yang dirasa membuat siswa pingsan dan ketidaksiapan pelaksanaan upacara bendera pagi itu. Setelah itu, siswa dikumpulkan pada satu kelas dan langsung pemberian amanat oleh Bapak kepsek Ulimpa.           

Beberapa waktu setelah itu, saya, Bapak Antonius Mobilala dan Ibu Treshia Mobalus serta Bapak Wenand Ulimpa masuk ke ruang kantor majelis guru. Di sana kami mengadakan briefing dadakan. Ternyata saya mendapat amanah untuk menjadi walikelas di kelas VI. Sungguh amanah yang baru dan benar-benar menantang sekali, walaupun siswa kelas VI hanya berjumlah 6 orang, tapi ini sangat berat karena mereka harus disiapkan betul untuk mengikuti UN tahun 2016.

Setelah briefing, saya pulang ke rumah, istirahat. Setelah shalat Zuhur, saya ke rumah Bapak Ulimpa karena saat di sekolah beliau mengajak pergi ke Kali tempat sumber air dan listrik di desa Kuadas. Ternyata saat tiba di rumah, saya waktu itu ditemani oleh Savira dan Ana memanggil Bapak Ulimpa ternyata tidak ada sahutan. Lalu Mega, salah seorang siswa di SD YPK mengatakan bahwa Bapak sudah pergi. Mendengar itu, saya ajak Savira dan Ana pergi ke kali tersebut. Di tengah perjalanan, saya mendapati Bapak Ulimpa dan Mama sedang berada di Sungai. Ada mama yang sedang mencuci pakaian dan bapak Ulimpa sedang mencuci sepeda motor. Menunggu Bapak Ulimpa siap, saya menghabiskan waktu di sana sambil bercengkrama dengan Markus, Savira dan Roes sembari bermain air.

Selanjutnya, kami menuju kali bendungan. Melewati hutan dan mengarungi beberapa anak sungai kami lewati, sehingga sampailah di rumah tempat mesin turbin penggerak listrik berada. Tidak sampai ke tempat bendungan, kami balik ke bawah. Saya dan mama Ulimpa dan Marcus serta Reos pun pulang ke rumah masing-masing.

Setiba di rumah, saya yang sedang berpuasa senin-kamis merasa sangat letih sekali. Saya lakukan istirahat sebentar dan shalat ashar. Pukul 17.00 WIT saya mulai aktifitas memasak. Memasak nasi, menggoreng ikan dna merebus daun kasbi (daun singkong) yang dibawa Ulu dari kebun Mama nya.


Hari ke-9 (Selasa, 1 September 2015):
Hari ini saya ke sekolah mengajar pertama kelas VI SD YPK Bukit Sion Kuadas. Memulai mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, lanjut pelajaran IPA dan belajar KTK. Aku sebenarnya belum banyak memiliki bekal ilmu mengajar SD karena maklum aku bukanlah ex.mahasiswa dari jurusan PGSD. Namun, melalui SM-3T ini tiada pembeda disiplin ilmu. Ketika aku berada di lingkungan ini, aku harus bisa dan berupaya untuk profesional menjadi pendidik siswa/I SD. Bagaimana-pun caranya, karena predikat guru SM-3T sudah dicap sebagai orang yang serba bisa. Tidak hanya dalam hal akademik tapi juga dalam hal non-akademik atau kemasyarakatan (Sosial). Pagi ini kucoba mengajar Bahasa Indonesia, melalui ilmu seadanya dan berpedoman pada buku Bahasa Indonesia SD kelas VI KTSP 2006, ku coba menguraikan materi semampuku. Begitu juga dengan pelajaran IPA. Aku ajak siswa mengamati lingkungan sekitar karena materi pagi ini adalah mengenai tumbuhan. Aku meminta siswa ke luar kelas dan mencatat mana yang termasuk tumbuhan hidup dan tumbuhan mati. Ternyata di antara mereka tidak banyak yang bisa menemukan tumbuhan mati. Lalu aku minta masing-masing mereka menuliskannya ke papan tulis untuk diperiksa.

Selanjutnya, pelajaran KTK. Aku awali dengan apa itu KTK dan pembagian seni. Ada seni drama, seni tari dna musik. Namun, kali ini aku meminta siswa menyanyikan lagu wajib nasional dan lagu daerah Papua. Ada sekitar lima lagu Papua yang mereka nyanyikan yakni lagu Nemol Wana, Pau Maladum, Papuse, Aku Papua dan ada satu lagu di mana aku lupa judulnya. Begitu semangatnya mereka menyanyikan lagu, mesti ada yang masih malu-malu dan tersenyum sambil menyanyikan lagu daerah mutiara hitam Indonesia itu.

Malam harinya, Bapak Wenand Ulimpa datang ke rumah untuk memprint data LPJ Bosda periode Januari-Juni 2015 dan memprint data jemaat GKI (Gereja Kristen Injili) Papua. Perdana juga aku mencatat nama-nama jemaat gereja Bukit Sion Kuadas dan nama-nama Pnt. (Penator) dan Sym. (???). Ternyata, saat mau memprint, tinta habis. Aku isi tinta hitam, tapi tidak bisa bergerak kartrij nya. Aku telepon Icha di kampung Padangpanjang dan aku tanya bagaimana mengatasinya, namun juga tidak bisa. Lalu bapak Ulimpa, memintaku besok harinya untuk memperbaiki sembari membersihkan printer. Maklum di sini satu lembar hitam putih saja harganya Rp.4000,- kata Bapak Ulimpa. Begitu mahalnya…itu-pun masih di pusat Kota Sorong.

Ketika hendak pulang ke rumahnya, Bapak Ulimpa memberiku uang Rp.100.000,- untuk membeli kebutuhan harianku agar dititip sama Bapak Antonius, guru Olahraga yang sering mengantar sang istri mengajar ke SMP  1 Makbon dengan mengendarai Jongson (Perahu) menuju distrik Makbon.

Hari ke-10 (Rabu, 2 September 2015):
Pagi ini agak berbeda daripada biasanyam tubuh terasa lemas, lapar. Padahal sudah sarapan pagi dengan kopi cenkudu dan biskuit sekolah pemberian Bapak Ulimpa. Lalu saat istirahat, aku pergi ke rumah dan langsung makan. Selanjutnya, aku kembali lagi ke sekolah dalam mata pelajaran IPS dan Matematika.

Writer: Hasan Asyhari, S.Pd (Guru SM-3T UNP V, penempatan Kampung Kuadas, Distrik (Kecaamatan) Makbon, Kab. Sorong, Papua Barat.