Artikel: Hari Bahasa Ibu, Perkokoh Kearifan Lokal Indonesia
Hari
Bahasa Ibu, Perkokoh Kearifan Lokal
Indonesia
Oleh:
Hasan Asyhari,
S.Pd., Gr.
(Guru Sosiologi
SMA IT Gema Nurani Bekasi)
Bahasa merupakan salah satu unsur
budaya universal seperti yang dikemukakan oleh seorang antropolog bernama C.
Kluckhohn. Dalam karyanya yang berjudul Universal
Categories of Culture dan terbit tahun 1953, beliau menempatkan bahasa
sebagai budaya universal. Walau seprimitif kebudayaan suatu masyarakat, tetap
memiliki unsur bahasa. Yang membedakannya adalah tingkat kekompleksitasnya.
Semakin modern kebudayaan suatu masyarakat, maka semakin berkembang bahasanya.
Bahasa yang berkembang itu juga menentukan sikap masyarakat dalam bertingkah
laku. Bahasa di dunia sangatlah banyak. Mulai dari bahasa internasional hingga
bahasa tradisional, itu lah yang dikenal dengan bahasa ibu atau bahasa daerah
tempat lahir hingga dewasa yang dialami seseorang. Banyak cara yang bisa
dilakukan untuk menjaga agar bahasa ibu tetap ada, salah satunya melalui
peringatan hari bahasa ibu internasional.
Hari
Bahasa Ibu Internasional (International
Mother’s Language Day). Masih banyak orang yang belum tahu akan momen
peringatan tersebut. Masyarakat Indonesia terkhusus pegiat media sosialpun masih
banyak yang tercengang. Saat penulis mengunggah di status whatapps yang pamflet online
tentang peringatan hari bahasa Ibu yang diposting admin Instagram @Kemdikbdud.ri
melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Ada beberapa teman di kontak whatapps
yang bertanya, kemudian penulis menjawab sepengetahuan penulis. Momen
peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional tepat digelar tanggal 21 Februari
kemarin di seluruh penjuru dunia. Hari Bahasa Ibu Internasional sudah sejak 17
November 1999 ditetapkan United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO).
Sebagaimana dilansir dari http://citizen6.liputan6.com.,
momen peringatan hari Bahasa Ibu Internasional dilatarbelakangi pada tragedi
tanggal 21 Februari 1952, mahasiswa dan masyarakat di Bengali Timur (sekarang
Bangladesh) turun ke jalan untuk memprotes peminggiran bahasa Bengali oleh
pemerintah pusat Pakistan yang hanya mengakui bahasa Urdu. Sejumlah mahasiswa
tewas menjadi korban kekerasan aparat dalam gerakan bahasa tersebut. Karena
itulah, UNESCO memilih tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.
Lewat peringatan tersebut, UNESCO tahun ini mengulangi kembali komitmennya
terhadap keragaman bahasa dan mengundang negara-negara anggotanya untuk
merayakannya sebanyak mungkin. Hal tersebut juga sebagai pengingat bahwa
keragaman bahasa dan multilingualisme sangat penting untuk pembangunan
berkelanjutan. Itu sekilas sejarah kemunculan istilah peringatan hari bahasa
ibu internasional. Banyak negara yang memperingatinya sebagai wujud rasa empati
terhadap peristiwa tersebut, terkhusus di Indonesia.
Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terdiri atas ratusan suku bangsa baik besar maupun kecil.
Keberagaman suku bangsa membuat Indonesia memiliki bahasa yang beragam pula.
Bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masayarakat dalam suku bangsa
tersebut. Sebut saja Bahasa gayo di Aceh, bahasa Minang di Sumatera Barat,
bahasa batak di Sumatera Utara, bahasa Sunda di jawa Barat, bahasa betawi di
DKI Jakarta, bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, hingga bahasa Papua di
Papua. Selain dari bahasa umum tiap daerah atau provinsi, tiap sub suku
bangsapun memiliki bahasa dengan pemaknaan yang berbeda. Seperti di Sumatera
Barat, ada yang memaknai cape atau lelah atau letih dengan sebutan “litak.”
Namun, di daerah lain di Sumbar kata “litak” berarti lapar (belum makan). Adanya
perbedaan makna dalam bahasa tiap suku bangsa dan daerah di Indonesia, menunjukkan
keunikan budaya lokal yang dikemas dalam konsep “multilingualistik atau
multilingualisme.” Perbedaan makna dalam bahasa ini juga menentukan sikap
berperilaku masyarakat setempat. Ketika masyarakat menafsirkan “litak” sebagai
lapar, sebagian masyarakat menafsirkan “litak” sebagai letih atau lelah. Bukti
lain, di Papua dengan bahasa umum Papua menyebut saya dengan sebutan “sa atau
za,” kata pergi dengan sebutan “pi.” Bahasa-bahasa seperti itu yang perlu
dilestarikan sehingga tidak punah di makan zaman. Penggunaan bahasa ibu di tiap
lingkup keluarga, membuktikan bahwa keluarga salah satu agen pewaris bahasa
Ibu.
Fenomena miris penggunaan bahasa
ibu juga cenderung terjadi di daerah perantauan. Kerika si anak dilahirkan di
daerah rantauan, tinggal dan besar di daerah rantauan. Kemirisan terjadi ketika
orangtua tidak mau mengajari bahasa daerah (ibu) di dalam keluarga di rumah. Dengan begitu, jelas si anak tidak bisa
mengenal bahasa ibunya. Namun, sebagian keluarga di perantauan, masih
menggunakan bahasa ibu terhadap anak-anaknya di rumah. Walau logat bahasa Ibu
tidak begitu kental, tapi setidaknya sudah mampu menanamkan nilai-nilai
kearifan bahasa lokal pada diri si anak.
Fenomena
peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional di Indonesia. Sebagaimana yang saya
lansir dari website Tribun Jateng. Di Karang Taruna RW 03, Jatiwayang,
Kelurahan Ngemplak, Simongan, Kota Semarang menggelar kegiatan peringatan hari
bahasa ibu internasional.. Kegiatan tersebut bertajuk “bahasa Ibu Ora Wagu.”
Dalam kegiatan tersebut, panitia acara menyuguhkan pertunjukan kepada anak-anak
sekitar dengan bahasa Jawa. Melalui pertunjukan tersebut akan dapat merangsang
anak-anak mengenal kembali bahasa daerahnya. Bahasa Ibu memiliki nilai yang
sangat kuat di masyarakat. Mengenalkan budaya dan bahasa Ibu ke anak-anak dianggap sangat perlu dilakukan.
Mengingat perkembangan arus globalisasi, ketika tidak diimbangi penanaman
budaya (bahasa) lokal, bisa membuat bahasa tersebut hilang begitu saja. Serta
bisa jadi anak-anak kehilangan ruh untuk menggali dan menggunakan bahasa lokal
tersebut. Pentingnya budaya bagi
masyarakat Jawa, seperti saling
menghormati. Ewuh pewekuh, tepo seliro,
empan mapan merupakan budaya yang melekat sudah lama yang harus diterapkan
dan dilakukan. Makna dari istilah Jawa tersebut adalah dalam hidup harus saling
bertoleransi sesame manusia lain.
0 comments:
Post a Comment