Kebudayaan dan Kepribadian
A.
Teori
Pola Kebudayaan (Ruth Benedict)
1.Ruth
Benedict, Ilmuwan Sosial Perempuan Yang Tangguh
Terkait masalah pola kebudayaan ada
seorang ilmuwan social perempuan yang mengutarakan masalah itu dan juga merupakan
wanita pertama yang mencapai keunggulan sebagai ilmuwan sosial dan menunjukkan
keteguhannya dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya ketika
berhadapan. Beliau adalah Ruth Benedict, fokus utama kajian beliau adalah
kepada hubungan antara individul dan masyarakatnya.
Ruth Benedict mendapatkan
pendidikan yang kuat di Vassar College, sebuah sekolah terkenal di thn 1880.
Sebuah sekolah yang bertujuan untuk mendidik wanita agar sejajar dengan
laki-laki. Awalnya, Ruth Benedict tertarik kepada bidang kesastraan dan puisi.
Pada masa selanjutnya ia menerbitkan puisi dalam berbagai majalah puisi dan
jurnal. Pengalamannya dengan berbagai kritik analisis sastra nantinya
berpengaruh kepada ke-antropologiannya. Ia banyak mempelajari isu-isu politik
progresif, tren artistik modern, dan karya sastra sastrawan-sastrawan Jerman
dan Amerika, terutama karya Fredrich Nietzche. Nietzche merupakan sastrawan
Jerman yang memilih berkarya dengan menuliskan berbagai pernyataan filsafati
sebagaimana dikatakan filosof Persia, Zarathustra dalam mendapatkan dan mengungkapkan
kreativitas, yaitu dengan cara memberontak kepada kesesuaian dan bersemangat
mencari kesepakatan-kesepakatan baru dengan hidup. Caffrey, seorang penulis
biografi Ruth Benedict menuliskan bahwa Nietzche menganjurkan untuk menggunakan
kreativitas iconoclasm, yaitu keinginan diri untuk mencipta diluar batas
dirinya sendiri. Bagi Nietzche, kreativitas yang ia anjurkan adalah sebuah
kreativitas yang menciptakan nila-nila baru. Perubahan nilai-nilai baru
dilakukan dengan cara pemusnahan nilai-nilai lama dan kemudian menggantikannya
dengan nila-nilai baru.
Nietzche juga
menganjurkan untuk memusnahkan nilai-nilai moral yang konvensional dan
kesesuaian karena memperlemah kreativitas. Ia menegaskan akan
kesenangan/kenikmatan secara fisik. Ia menyebutnya sebagai penolakan terhadap
materialism dan untuk para pembacanya agar membangun Tuhan-nya didalam dirinya
sendiri. Pemikiran-pemikiran Nietzche ini kemudian memberikan pengaruh yang
besar kepada pemikiran Ruth Benedict untuk dapat berkreativitas dan
membebaskannya lepas dari kungkungan masa lalu serta mencapai kehidupannya di
masa depan.
Pada tahun 1914, ia
menikah dengan Stanley Benedict dan bercerai beberapa tahun kemudian. Pada umur
31 tahun, ia memasuki New School for Social Research. Setelah beberapa tahun
kemudian ia mengambil program pasca sarjana dibawah supervisi Franz Boas di
Columbia University dari tahun 1921 –1942. Boas mensupervisi disertasi Benedict
yang berjudul “ The Concept of the Guardian Spirit in North America”. Disertasinya
ini ditulis berdasar penelitian studi kepustakaan. Disertasinya ini
mendiskusikan tentang implikasi budaya pada pengalaman keagamaan individu. Ia
mencoba untuk melakukan pendekatan inovatif dalam mempelajari budaya melewati
pemilihan keputusan yang dilakukan oleh individu. Pada tahun 1920-an, ia
mengunjungi Amerika barat daya untuk melakukan penelitian (summer research).
Antara lain daerah tersebut adalah Zuni (1924), Zuni dan Cochiti (1925), O’otam
(Pima 1927), dan Mescalero Apache ( 1931). Penelitian Benedict di Zuni yang
kemudian menjadi buku Pattern of Culture pada tahun 1934. Selama periode ini ia
membangun ketertarikannya kepada kepribadian (personality) dan budaya.
2. Pola Kebudayaan
Buku “Pattern of
Culture” atau Pola Kebudayaan merupakan buku yang populer hingga saat ini.
Diperkirakan sejak tahun 1934 hingga tahgun 1974, telah terjual 1,6 juta copy
dan telah dialihbahasakan kedalam 12 bahasa asing. Ide-ide dari buku ini
dianggap telah meresap ke dalam masyarakat amerika modern dan diterima menjadi
sesuatu yang biasa. Ada beberapa poin yang dapat diambil dari buku ini.
Pertama, penegasan akan pentingnya budaya untuk melawan biology yang
dikontraskan dengan perbedaan pola hidup diantara Zuni, Dobu, dan Kwakiutl. Ia
menunjuk penyebab keutamaan budaya dalam memahami perbedaan antar manusia
modern. Profil ketiga masyarakat ini begitu berbeda dari masyarakat Amerika.
Kedua, Bendedict memberikan tekanan kepada pola dari kebudayaan. Konsep dari
pola sesuai/cocok dengan beberapa cara kompleks elemen budaya yang Kroeber dan
lainnya diskusikan, peritiwa yang dipolakan dari sifat/ciri yang ditandai oleh
perbedaan kebudayaan kelompok. Tetapi Ruth Benedict dan anthropolog lain
berusaha mencari sesuatu yang lebih inti dan dalam, mengarah kepada hubungan
yang tidak hanya antara kumpulan dari sesuatu dan tingkah laku saja, tetapi
lebih kepada gagasan, nilai, dan sesuatu yang mengkarakterkan masyarakat
tertentu.
Gagasa Benedict
tersebut diatas dipengaruhi oleh ide konfigurasi “Gestalt” yang berpengaruh
ketika itu. Gestalt merupakan gagasan yang diambil dari bahasa Jerman yang
artinya gambaran bentuk fisik Gestalt merupakan gagasan yang digunakan oleh
para psikolog ketika mengaplikasikan gagasan pada eksperimen dalam proses
pembelajaran tingkah laku yang menyarankan manusia untuk merespon pola yang ada
dibawahnya/mendasarinya yang keluar oleh kejadian khusus daripada oleh
rangsangan respon langsung. Gagasan Gestalt tentang konfigurasi merupakan
konfigurasi yang dibentuk dari pola yang dihubungkan antara fakta dan kejadian
dengan sikap dan keyakinan yang melatarbelakanginya.
Ruth Benedict membuat
gagasan dari gestalt/konfigurasi/pola menjadi pusat kajiannya. Ia melihat bahwa
kerangka subyektif, merupakan bentuk yang didukung oleh pengalaman masa lampau
dan merupakan hal yang penting dan tidak dapat diabaikan. Ketika Benedict
mengkontraskan obyektif dan subyektif, ia tidak menggunakan subyektif sebagai
sinonim untuk opini yang berlebihan atau proyeksi yang etnosentrik, ia lebih
condong untuk mengkarakterkan nilai-nilai subyektif yang menjelaskan mengapa
anggota dari masyarakat tertentu berlaku dalam cara-cara tertentu. Ia
menggunakan konsep pola yang mengacu kepada nilai-nilai yang ada dalam
masayarakat. Ia menulis bahwa “Budaya ..lebih dari merupakan sejumlah
sifat/ciri mereka. Kita mungkin tahu tentang semua distribusi bentuk
perkawinan, tarian ritual, dan inisiasi pubertas dan belum memahami apapun dari
kebudayaan sebagaimana kesatuan yang luas dimana digunakan elemen pada tujuan
tertentu “. Dari kutipan tulisan ini, dapat kita pahami pemikiran Benedict yang
mencoba untuk melihat kebudayaan lebih dalam daripada sekedar tindakan/tingkah
laku yang terlihat saja.
3.Tiga Pola Kebudayaan
Benedict mengungkap
perbedaan pola kebudayaan dengan mengkontraskan tiga kebudayaan yang ditelitinya,
yaitu masyarakat Indian Pueblo (Zuni & Hopi), masyarakat Dobu yang tinggal
di pantai selatan timur Papua New Guinea, dan masyarakat Indian barat laut
(Tsimshian, Kwaliutl, Coast salish) yang hidup antara Puget Sound dan barat
daya Alaska. Ketiga kelompok ini dipilih karena pernah diteliti oleh antropolog
yang dipercayainya: Reo Fortune di masyarakat Dobu, Boas di masyarakat Indian
pantai barat laut, dan Benedict sendiri di Zuni. Ia menyusun konfigurasi
kebudayaan masing-masing kebudayaan tersebut. Menyusun detail etnografi ke 3
kelompok masyarakat tersebut.. Menyelidiki elemen fundamental dari pola budaya.
Sebagai contoh ia menulis masyarakat Dobu sebagai masyarakat yang paranoid dan
bernafsu. Ia menyebutkan antara lain sebagai masyarakat yang berwajah keras,
sopan, dan bernafsu, diliputi oleh rasa keirian, kecurigaan dan kemarahan.
Setiap kesempatan untuk mencapai kemakmuran dipahami sebagai dunia kedengkian
yang diraskan oleh lawannya. Orang yang baik/ideal bagi masyarakat Dobu adalah
orang yang mempunyai banyak konflik sebagai nilai kreditnya, sebagaimana
seseorang melihat fakta dimana ia dapat bertahan dengan sebuah ukuran dari
kemakmuran. Pemikiran ini, ia kontraskan dengan masyarakat Zuni sebagai
masyarakat yang penuh dengan martabat dan kesopanan. Masyarakat yang tidak
mempunyai keingingan untuk memimpin dan seseorang yang tidak pernah
mengleluarkjan komentar atas tetangganya. Ia mengkarakterkan masyarakat Pueblo
sebagai masyarakat yang tenang dan harmonis. Masyarakat Kwalitul sendiri, ia lihat
sebagai masyarakat yang memperkaya diri sendiri dan mengagungkan diri-sendiri.
Benedict tidak hanya
menceritakan prasangkanya tentang masyarakat tersebut, ia juga menawarkan
generalisasi etnografi tentang perbedan nilai dari masyarakat yang berbeda. Ia meminjam
istilah yang dikemukakan oleh Nietzche, yaitu Apollonian dan Dionysian. Kedua
nama ini didasarkan atas nama yang dideskripsikan oleh Nietzche berdasarkan
atas tragedy Yunani. Kemudian ia mengkontraskan konfigurasi kebudayaan
masyarakat Zuni atau masyarakat Puebloan, dengan masyarakat Kwakiutl dan
masyarakat Amerika Utara dengan meminjam istilah Nietzche itu. Ia membicarakan
tentang 2 cara dalam melihat nilai-nilai yang ada. Dionysian merupakan
nilai-nilai yang menghapuskan batas-batas kebiasaan dan batas eksistensi
manusia untuk mencapai momen yang paling berharga dengan menembus di luar batas
panca indra, agar dapat mencapai eksistensi yang lain. Ia melihat Dionysian
dalam pengalaman personal dan ritual, adalah melalui pencapaian keadaan
psikologi tertentu agar mencapai perbuatan yang dluar batas/berlebihan
(excess). Analogi terdekat dengan apa yang ia lihat adalah emosi yang ia lihat
dalam kedaan kemabukan dan ia nilai sebagai iluminasi dari kegilaan. Ia percaya
bagian dari perbuatan di luar batas akan menuju kepada tempat yang bijak.
Masyarakat Indian secara keseluruhan termasuk di Mexico, menurutnya adalah tipe
yang Dionysian. Mereka dinilai dari semua pengalaman kekerasan, dimana semuanya
berarti manusia mungkin memecahkan sensor rutin kebiasaan, dan semua pengalaman
yang mereka alami akan diatribusikan sebagai nilai tertinggi.
Apollonian tidak
percaya akan hal ini dan selalu mempunyai ide yang tidak begitu berbeda dari
alam seperti pengalaman yang mereka alami. Menurut Benedict, masyarakat Zuni atau
Indian Puebloan adalah masyarakat yang bertipe Apollonian. Suatu masyarakat
yang telah teratur dengan tatanan yang baik . Hal ini tercermin dalam tradisi
mereka. Pengaruh akan kekuatan yang melawan tradisi dinilai tidak menyenangkan
dan berusaha diminimalkan dan pranata mereka. Mereka juga mempunyai
ketidakpercayaan atas perbutan yang berlebihan dan suka pesta pora. Bagi
Benedict, masyarakat Indian daratan secara keseluruhan sebagian merupakan
Dionysian atau menilai perbuatan yang berlebihan sebagai pelarian kepada
kondisi eksistensi yang keluar dari panca indra. Walaupun dalam berbagai
perbedaan dalam bahasa dan kebudayaan, ia melihat condong untuk mengkarakterkan
masyarakat Indian pada perilaku Dionysian. Dengan beberapa bukti yang
mencurigakan adalah ketika mempertanyakan visi di dalam individu dalam melewati
puasa, merokok, dan mutilasi diri, dengan maksud mencoba untuk menembus kontak
langsung dengan supernatural. Seperti seperangkat nilai inti yang dibentuk oleh
praktek kebudayaan yang besar, kemudiuan menghasilkan pola kebudayaan.
Oleh Ruth Benedict
individu baginya tidak semua dapat menyesuaikan diri dengan pola kebudayaan
yang ada dalam kehidupannya. Ia melihat konflik antara individu dan kebudayaan.
Bagian akhir dari buku “Pattern of Culture” mengalamatkan permasalahan ini.
Sifat manusia begitu lunak, teguran dari satu kebudayaan begitu eksplisit dan
sangsi akan ketidak patuhan begitu kerasnya, dimana masyarakat luas tidak hanya
menerimanya sebagai inti kebudayaan tetapi juga berasumsi bahwa pranata mereka
merefleksikan kondisi ideal yang pokok. Benedioct beragumentasi bahwa
deviasi/penyimpangan adalah konflik antara kepribadian individu dan nilai
kebudayaan yang diberikan dan tidak merupakan dimensi yang benar-benar tunggal
bagi semua orang.
“Pattern of Culture”
mengajukan konflik yang menarik antara individu dan kebudayaan di satu sisi,
disisi yang lain kebudayaan adalah ekspresi dari inti nilai dimana hampir
setiap orang mempelajari dan menyerapnya, disisi yang lain juga adalah
kepribadian individu yang mencoba untuk mengartikan lain arti kebudayaan.
Didalam “Pattern of Culture” terdapat tidak hanya nilai-nilai kebudayaan yang
relatif, tetapi juga definisi dari penyimpangan. Buku Benedict ini merupakan
buku text antropology yang membahas hubungan antara kebudayaan dan kepribadian.
Jadi, dalam teori Benedict setiap kebudayaan ada aneka ragam tipe
temparamen, yang telah ditentukan oleh faktor keturunan (genetik) dan faktor
ketubuhan (konstitusi), yang timbul berulang-ulang secara universal. Namun,
setiap kebudayaan hanya memperbolehkan sejumlah terbatas dari temparemen
tersebut berkembang.
Lukisan Anak-anak di
Bali adalah tulisan hasil pengamatan Jane Bolo mengenai proses perkembangan
melukis menurut gaya tradisional dari 20 orang anak laki-laki Bali yang berumur
3 sampai 10 tahun. Anak-anak itu sengaja dikumpulkan, diberi alat-alat melukis
dan disuruh melukis pada saat mereka ingin melakukannya. Anak-anak itu penghuni desa Sajan, Kabupaten Gianyar
Lukisan Anak-anak di Bali
mengambarkan pengaruh kebudayaan terhadap proses penempaan seorang seniman.
Anak-anak di Bali sejak kecil sudah tergantung pada kondisi kebudayaannnya, dia
mempelajari arti dari lambang-lambang kebudayaannya, dia belajar untuk
membiasakan sikap yang khas tehadap kesenian. Bila telah menjadi dewasa maka
dia akan menjadi seorang Bali yang menghasilkan karya kesenian dan menjadi
peminat yang menghargai kesenian, karena di Bali, kesenian bukanlah urusan dari
beberapa orang saja namun menjadi milik setiap orang.
Dalam semua aspek seni rupa di Bali,
seni lukis, seni ukir dalam merencanakan gambar wayang untuk wayang kulit dan
mengukir topeng-topeng, keserupaan dengan bentuk tradisional sangat jelas
tampaknya. Anak-anak di Bali melukis sesuai apa yang dilihatnya, seperti
acara-acara wayang kulit, sabuk ayam dan sebagainya. Sehingga ketika disuruh
untuk melukis mereka lebih memilih melukis gambar-gambar tersebut berbeda
dengan anak-anak kebanyakan yang apabila disuruh melukis mereka lebih cenderung
melukis gambar gunung atau pemandangan alam lainnya. Jadi, disini terlihat
jelas betapa kebudayaan mempengaruhi kepribadian anak-anak di Bali saat itu.
Daftar
Pustaka
Danandjaja. James. 1988. Antropologi
Psikologi. Jakarta: CV. Rajawali.
Ihromi,T.O.(ed).1980. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta:
PT Gramedia.
26 Februari 2012.
0 comments:
Post a Comment