Saturday, April 28, 2012

Pers yang Beretika


Oleh : Roni Saputra
Pjs Direktur LBH Pers Padang

Dunia pers memang tidak akan pernah habis. Ia selalu berkembang sesuai dengan ritme perkembangan suatu negara. Bahkan untuk Indonesia sendiri Pers memang peran yang sangat penting, ia merupakan salah satu dari pilar demokrasi. Pers secara langsung dan tidak langsung dapat menentukan kemana arah negara akan dibawa.
Bagaimana dengan pers hari ini? Pers hari ini telah menjadi sebuah kekuatan baru, kekuatan penyeimbang bagi masyarakat untuk melawan kekuasaan zalim yang telah “menipu” hak-hak masyarakat. Di dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ditegaskan bahwa Negara memberikan jaminan terhadap kemerdekaan pers sebagai wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Lalu bagaiman jika kekuatan ini malah disimpangkan oleh orang yang menjalankan fungsi pers itu? Tentunya hari ini kita bisa lihat begitu banyak media pers yang tumbuh dan malah menjadi kekuatan bagi elit-elit politik untuk mengkampanyekan kepentingan politik dari sielit itu sendiri, bahkan ada juga pers yang malah menjadi corong penguasa dengan mengatasnamakan kepentingan umum. Apakah ini salah?
Untuk itu tentunya kita perlu melihat ke belakang kembali, setidaknya mulai kembali membuka Undang-Undang Tentang Pers, yang juga memberikan gambaran kepada kita tentang peran dan fungsi pers. Disebutkan dalam Undang-undang itu, bahwa pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Selanjutnya pada pasal 6 UU Pers disebutkan pula peranan pers diantaranya menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi; mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Berdasarkan Undang-undang jelaslah di mana posisi pers itu, setidak-tidaknya menyuarakan suara rakyat.
Apakah dengan menyuarakan suara rakyat, pers dapat melakukannya secara bebas? Tentu tidak. Dalam menjalankan tugasnya, pers harus berpedoman kepada kode etik. Setidaknya ada 29 kelembagaan pers yang sudah bersepakat untuk mengatur etika dalam berkarya jurnalistik. Kode etik itu pada 14 Maret 2006 oleh Dewan Pers dibuat dalam suatu Surat Keputusan dengan Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik yang berisi 11 pasal. Di antaranya menyebutkan Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal ini ditafsirkan bahwa mengujiinformasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional,  Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. Selain itu juga disebutkan Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. Pasal ini dapat ditafsirkan,  bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi, Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
Selain dari hal diatas, ternyata adapula yang namanya sembilan elemen jurnalisme (sekarang sudah 10), disebutkan bahwa prinsip ini menjadi pegangan wajib jurnalis. Prinsip ini terdapat dalam bukunya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), The Elements of Journalism, What News people Should Know and the Public Should Expect (New York: CrownPublishers). Elemen-elemen itu adalah; pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran; kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga; ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi; keempat, jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput; kelima, jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan; keenam, jurnalisme harus menyediakan forum kritik maupun kementar dari publik; ketujuh, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan; kedepalan, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional; kesembilan, jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka; dan kesepuluh, warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.
Pertanyaan selanjutnya, apakah semua pers yang ada (baik nasional maupun lokal) sudah menerapkan semua ketentuan diatas? Jawabnya belum, saat ini kita masih menemukan ada pers yang menyerang pribadi/jabatan seseorang tanpa jelas siapa narasumbernya dan sejauh mana keakuratan datanya, masih ada pers yang membuat berita dengan sumber yang hanya satu (tidak berimbang), masih ada pers yang antara judul dan isinya tidak memiliki hubungan, masih ada pers yang membuat judul begitu bombastis sehingga terkesan membuat berita tidak proporsional dan tentunya saat ini masih ada pers yang berangkapan a badnewsis a goodnewspadahal pada zaman sekarang seharusnya yang dipakai adalah a goodnewsis a greatnews.
Munculnya beberapa persoalan di atas yang menyebab pers terkesan tidak menjalankan etika jurnalistik tidak terlepas dari adanya kepentingan yang dimainkan, apakah itu kepentingan politik ataupun kepentingan ekonomi, karena tidak dapat dipungkiri hari ini sudah begitu banyak jurnalis/wartawan ataupun pemimpin di perusahaan pers yang menjadi elit politik, menjadi bahagian dari penguasa sehingga menjerat idealismenya sebagai seorang jurnalisme yang menjadi penyambung lidah rakyat.
Sebagai salah satu pilar demokrasi dan menjadi bahagian terpenting dalam menentukan arah, sudah seharusnya pers melakukan evaluasi, mengevaluasi sudah sejauh mana pers menjalankan fungsi dan perannya, sudah sejauh mana aturan-aturan pers dijalankan dan sudah sejauh mana etika jurnalistik dijadikan pedoman dalam menciptakan karya jurnalisme yang beretika.

0 comments:

Post a Comment