Saturday, October 6, 2012

Cerpen: Selendang Putih untuk Ibu Amidah


            Pasar yang ramai di pusat perbelanjaan tradisional kota Batusangkar. Ada seorang Ibu yang menjual sayur bayam segar. Hampir tiap hari ia menjual sayur ke Pasar tradisional yang terletak di kota Pagaruyung itu. Bayam itu ia tanam dengan luas tanah kurang dari empat meter di depan rumahnya. Sebut saja, Ibu Amidah namanya. Wanita tua berbadan kurus dengan lilitan selendang kumal di atas kepala nya. Perupaan itu selalu mewarnai penampilannya tiap hari dan di mana pun ia berada. Ia tinggal lumayan jauh dari pasar tempat ia berdagang sehingga harus ditempuh dengan menaiki angkutan kota. Wanita yang hidup hanya berdua dengan suami yang sudah tak dapat bekerja ini. Membuatnya harus memikul beban ekonomi sendiri. Dua orang anaknya yang pergi merantau tak pernah ada kabar semenjak mereka pergi merantau ke negeri orang.
            Usaha mendapatkan berbagai informasi telah ia lakukan. Namun, apa daya Tuhan belum mempertemukan ia dengan kedua orang anaknya. Apakah masih hidup atau sudah tiada. Tak mungkin berbadan sendiri ia melancong ke negeri orang. Apalagi kaki yang sudah tak kuat lagi untuk berjalan. Tak itu saja yang jadi masalah, biaya untuk ke sana juga tak ada. Meskipun sudah pernah terlirik bantuan keluarga miskin, namun itu cuma tak rutin ia dapati. Tentu tak akan mampu menutupi segala keluarganya. Dengan usia yang sudah tua tak ada keinginan untuk meminta lebih selain bisa  makan untuk hidup sehari-hari.
            “Pak,Ibu jualan dulu ya Pak!” izinnya kepada sang suami yang sudah bertahun-tahun hidup dengan kaki lumpuh. Berbagai pengobatan telah dilakukan, namun tak juga kunjung sembuh. Apakah ini karma yang diterima suaminya sewaktu menjadi pedagang terompet. Dulu suaminya sering mencaci bahkan mengganggu orang-orang lumpuh di tempat ia berdagang. Alunan bunyi terompet yang amat bising dan sangat mengganggu. “Ia Bu, hati-hati saja,” balasnya. Kemudian ia pergi ke pasar tradisional tempat ia mencari nafkah. Sembari menunggu angkutan ke pasar berwarna merah muda itu, ia sempatkan untuk menjenguk tetangganya yang kemalangan yang berada tak jauh dari tempat biasanya ia menunggu angkutan itu. Setelah itu baru ia berangkat menuju Pasar.
            Setiba di Pasar ia kembangkan tikar kecil tempat untuk menaruh beberapa ikat sayur bayam yang ia bawa dari rumah. Sang mentari terang yang datang sejak pagi harus pergi. Hujan pun turun. Sayur-sayuran itu harus ditaruhnya di tepi kedai penampungan tempat ia biasa mengembangkan tikar plastik birunya. Lalu lalang umat manusia selalu ia perhatikan. Allahu Akbar, Allahu Akbar!!. Suara azan pun menggema merdu dari sudut kanan pasar. Ia pun pergi melaksanakan shalat zuhur ke Mushalla yang cukup nyaman itu. Tiap terdengar azan masuk ia segera untuk melaksanakan ibadah shalat berjamaah di Mushalla yang tak jauh dari tempat ia jualan itu. Dengan memakai mukena mushalla, selendang berbau dan berwarna nano-nano itu selalu ia lilit sebagai penutup rambut kepalanya yang sudah beruban itu. Hal demikian selalu menjadi bahan gosip jemaah wanita di mushalla. Tak terlalu di ambil pusing oleh wanita berwajah keriput bak kertas yang diremas-remas itu. Faktor ketuaan bisa jadi membuatnya tak terlalu acuh dengan tiap perkataan jemaah wanita yang menggosipnya.
***
             Pernah suatu hari, wanita yang hamil muda duduk di sebelahnya marah kepada Ibu Amidah. Lalu menghardiknya. Tak sengaja wanita tua itu mengembangkan sehelai selendang putih kumal bercak hitam, berbau, dan berwarna kuning tua di depan wanita hamil muda itu. Tiba-tiba ia mual-mual hingga mengeluarkan sempat mengeluarkan semangkuk kecil muntah. Maklum saja wanita itu baru hamil anak pertama dan belum makan garam akan gejala-gejala selama kehamilan. Setelah dihardiknya, ibalah hati wanita tua itu. Banyak mata yang melirik heran sikap wanita hamil muda itu terhadap Ibu Amidah. Atas  kejadian itu berpindah lah Ibu Amidah ke shaf bagian belakang dengan sedihnya. Namun juga ia masih bersikukuh untuk tetap shalat di sana.
            Setelah shalat, ia pun pergi ke tempat ia jualan dengan memegang sehelai plastik putih bekas yang ia bawa dari rumah untuk menempuh jalan yang masih dibanjiri oleh air mata awan saat itu. Tak ada payung yang ia miliki, terpaksa menggunakan apa yang ada sebagai pelindung dirinya yang sudah tua dan rentan sakit. Di pinggir  jalan kecil depan kedai bahan-bahan kue ia berjualan. Ditunggu lah para pembeli dengan sorak pelan dalam hilir mudik kedatangan orang-orang yang lewat. Azan shalat Ashar pun berkumandang. Ia pun menitip sayur bayam yang tinggal beberapa ikat lagi ke kedai bahan kue depan tempatnya berjualan. Wanita yang sangat disiplin dalam menjalankan ibadah shalat ini selalu menjadi perhatian oleh gharin mushalla tempat ia berbicara dengan sang khalik. Meski pun selalu dicaci maki ia tetap sabar. Setelah selesai shalat ashar. Seorang gharin bertubuh cukup tinggi itu menghampiri Ibu Amidah yang baru keluar dari pintu keluar.
             “Ibu, gimana kabarnya Buk?” kata gharin itu dengan suara iba.
            “Ibu, tak apa-apa nak. Ibu, mau jualan dulu,” balasnya.
            “Ya syukurlah Bu, Ibu hati-hati ya!” pesan lelaki itu.
            Sang surya pun mulai tenggelam, Ibu itu pun pulang ke rumah. Sejak pagi ia berjualan, masih banyak sayur bayam yang tersisa. Mungkin karena hujan yang terlalu lebat. Membuat pembeli tak terlalu melirik sayuran yang ia jual. Atau bisa saja melihat penampilannya yang kurang enak dilihat dengan bercak-bercak hitam di selendang putihnya. Namun, hal itu tak membuatnya pasrah. Masih ada hari esok. Ia awetkan sayur-sayur itu dengan air biar tak cepat layu untuk dijual esoknya. Kejadian seperti hari kemarin tak akan ia harapkan lagi. Ia pun, mencuci selendang kumal itu. Dicuci tak dicucipun rupanya tak berubah. Malah bau yang sedikit berkurang. Nama nya saja barang lama. Selendang putih pemberian seorang penjual mainan lima tahun yang lalu selalu ia pakai, ia rawat hingga bertahan adanya sampai sekarang.
            Sembari menyuapi sesuap-sesuap nasi kepada suaminya yang lumpuh itu. Ia mengadu kepada suaminya mengenai kejadian yang ia rasakan tadi siang saat akan shalat zuhur di mushalla dekat pasar itu.
             “Bapak, seandainya anak-anak kita yang merantau itu pulang dengan sendirinya. Tentu Ibu tak akan dihina dan dicaci seperti ini ya Pak..” ungkapnya dengan haru.
            ”Ya Buk, sabar aja ya Buk. Ini sudah takdir kita. Ibu harus sabar ya!“ kata Bapak yang lumpuh itu.
            Sang surya pun muncul mewarnai keindahan Gunung Marapi yang semula gelap. Hari baru pun tiba. Saatnya Ibu Amidah harus cepat-cepat ke Pasar dengan membawa puluhan ikat sayur bayam dari kebun kecilnya. Maklum, hari itu adalah hari pasarnya kota Batusangkar. Suasana pasar yang sangat ramai oleh para pembeli dan cuaca yang lumayan panas. Membuat tubuh Ibu Amidah dibasahi keringat. Barang dagangan Ibu Amidah pun laris terjual. Cuma seikat yang tersisa. Bersyukur Ibu Amidah saat itu. Kenapa tidak, hari itu ia memperoleh uang lebih dari 40 ribu rupiah yang akan ia simpan setengahnya untuk membeli selendang baru dan membeli pupuk tiap minggunya.
            Waktu shalat zuhur masuk dan ia siap-siap pulang sambil menanam biji bayam untuk ia tanam di lahan yang masih kosong di belakang rumah. Ia pun pulang ke rumah. Setiba di rumah ia sendirian. Kemudian mengambil perlengkapan dan alat-alat untuk menanam bayam. Ia siram dan beri pupuk demi mengharapkan daun yang banyak  dan besar-besar. Tak hanya dijual ke Pasar. Bayam-bayam Ibu Amidah juga dimanfaatkan untuk makan hewan ternak peliharaan suaminya.
***
            Hari ini berbeda dengan dua hari sebelumnya. Ia terbaring tidur di rumah. Tak ada  yang dapat ia lakukan selain pekerjaan di rumah. Demam yang ia derita membuat Ibu Amidah terpenjara dalam rumah. Apalagi cuaca hujan yang sangat lebat hari ini membuatnya terpaksa mengadu nasib di rumah yang sangat memprihatinkan itu. Rumah kecil yang dindingnya semua terbuat dari kayu dengan semen di lantainya. Selalu dibasahi dengan tetesan-tetesan air yang berjatuhan dari beberapa helai atap sudut kanan rumah. Selendang yang ia pakai juga kena tetesan air. Tak ada kemunculan panas matahari hari itu. Sehingga, ia terpaksa memakai selendang itu untuk pergi dagang sayur bayam esok hari nya.
            Kejadian beberapa hari yang lalu terulang kembali. Sudah cukup diserbu oleh berbagai celaan dan hinaan jemaah yang shalat di sampingnya. Hari ini ia diusir oleh wanita rentenir yang hendak shalat di mushalla itu. Ketika Ibu Hamidah hendak mengambil wudhu ia sengaja menyangkutkan selendang yang masih lembab dan berbau akibat tetesan air kemarin. Di atas sangkutan kepala wanita rentenir itu ia letakkan selendang itu. Setelah berwudhu ia mengambil selendang itu. Mua’azin pun mengumandangkan iqamat. Ia pun tergesa-gesa menuju tempat shalat. Saat ia ambil selendang itu tiba-tiba lepas dan menyangkut di atas kepala sang wanita bertubuh besar dan bersuara agak keras itu.
            Dengan suara keras wanita itu memarahi, menghardik malah sempat mengusir Ibu penjual bayam itu keluar dari tempat wudhu. Ibalah hati Ibu berbadan kurus itu. Ia harus menerima pil pahit itu untuk ke sekian kalinya. Kelihatan sedih dengan wajah simpul malu Ibu Amidah lekas masuk ke dalam Mushalla dan duduk di shaf pada bagian belakang yang jelas jauh dari wanita yang menghardiknya itu. Ia tak mau gara-gara kejadian yang sudah beberapa kali terulang di tempat yang sama mengganggu jemaah lain. Seusai shalat ia ditemui lagi oleh lelaki bersuara merdu penjaga mushalla itu. Ia mempersilahkan Ibu Amidah masuk ke dalam ruangannya yang berada di belakang mushalla. Ia menghibur Ibu Amidah dan memberi semacam semangat kepada Ibu Amidah.
            Akhirnya, sampai termiang oleh pikirannya untuk membelikan Ibu Amidah Selendang putih yang baru. Ia tak ingin lagi melihat hinaan orang-orang yang shalat di mushalla yang ia urus terhadap Ibu Amidah. Kemudian ia ambil uang dari dalam lemari kecil kamarnya. Tak hanya sebatas pemberian uang. Lelaki itu juga menemani Ibu Amidah untuk membeli Selendang putih yang baru ke kedai Jilbab. Sangat senanglah hati Ibu Amidah sampai bercucuran Air Mata Ibu Amidah.
            “Terima Kasih banyak ya nak. Ibu tak ada menginginkan kehebohan di mushalla mu itu. Niat Ibu hanya satu untuk beribadah..” ungkapnya seperti menangis.
            “Iya Buk,saya paham kok Buk. Ibu banyak sabar ya,” balasnya.
            “Ibu sudah menabung untuk membeli selendang baru, namun uang masih belum cukup,” ucapnya.
            Setelah itu, Ibu Amidah pulang ke rumah. Penuh perasaan bercampur ia hendak menuju rumah nan sangat sederhana itu sambil memikul beberapa ikat sayur bayam di pundak tubuhnya.
***
Writer: Hasan Asyhari

1 comments:

Buku Fenomena Remaja Jilid Dua
April 12, 2013 at 4:55 PM

sungguh cerita yang mengugah buat anak-anak, karena adik saya yang berumur 7 tahun pun menyukai ini makanya saya simpan cerpen ini. Makasih.

Post a Comment