Meneladani Tradisi Ulama
Oleh: Azzuhfi Ilan Tinasar
Islam
adalah agama yang sempurna. Kesempurnaannya itu terlihat dari pedoman hidup
seorang muslim yaitu Al-Qur’an dan keteladanan telah dicontohkan oleh
Rasulullah saw. Islam adalah agama yang syamil,
kamil dan mutakamil, segala aspek kehidupan diatur dalam Islam dari
bagaimana adab makan dan minum, menjaga kerbersihan hingga kepemimpinan dan
kenegaraan (Daulah). Selain dari itu,
kesempurnaan Islam diawali dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan. Maka
ilmu adalah bagian yang pokok dari seorang ulama.
Ulama adalah orang yang paling
mencintai ilmu. Orang yang takut kepada Allah ialah orang-orang yang
berilmu. Berdasarkan Al-Qur’an 35: 8
“hanya orang-orang yang berilmu yang akan merasa takut kepada Allah”.
Orang yang berilmu adalah
orang yang mengetahui dan memahami kebesaran Allah, kekuatan dan keagunganya, merasa dirinya kerdil
di hadapan kekuasaan Allah, dengan ini akan menimbulkan rasa takut kepada Allah. Jika takut telah timbul niscaya timbullah ketundukan. Segala perintah-Nya
dilaksanakan dan segala larangan-Nya dijauhkan. (Prof. Dr. H. Abdul
Karim Amrullah (Hamka), 1984: 300-301).
Menurut Ulama besar Yusuf Qardawi, sesungguhnya problematika mendasar dari umat
Islam adalah problematika ilmu. Kebangkitan umat harus diawali dari kebangkitan
ilmu (tradisi ilmiah), lalu meraih obor ilmu peradaban. Kedekatanya para ulama
dengan ilmu menjadikan inspirasi bagi umat islam untuk meneladani tradisi yang
dilakukan oleh para ulama terdahulu. Sehingga apabila dilakukan tradisi ulama
maka peradaban madani akan segera terwujud. Menurut penulis Ada dua tradisi Ulama yang penting umat islam teladani adalah
sebagai berikut:
Pertama, Cinta membaca. Perintah membaca
dalam Islam telah diajarkan Rasulullah saw semenjak ayat Al-Qur’an yang pertama
turun “Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu
yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan tuhanmulah yang maha mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Surat Al-‘Alaq diatas mendasari tradisi Ulama. Banyak para ulama tersohor
yang melakukan tradisi ini diantaranya adalah Abu bakar Al-Anbari membaca
setiap pekan sebanyak 100 lembar. Syekh Ali ath-Thantawi membaca 100-200
halaman setiap hari. Imam Asy-Syafi’i terjaga semalam sampai fajar dalam
mempelajari satu hadits dan masalah. Malam-malam beliau isi dengan membaca,
shalat dan belajar. Imam Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu shalat dua rakaat setiap kali
menulis satu hadits, serta berdoa meminta petunjuk Allah swt. Sehingga karyanya
menjadi rujukan jutaan umat muslim
didunia.
Mundurnya umat Islam era sekarang disebabkan salah satunya adalah kurangnya
kecintaan umat islam terhadap ilmu. Buku adalah salah satu cara agar ilmu itu
bisa didapatkan. Hal ini bisa dilihat dalam ralita terkini bahwa
perpustakaan-perpustakaan minim para pengunjung. Dirumah dan dikamar umut islam
tidak memiliki pustaka yang siap untuk dibaca. Jarang sepertinya ruang tamu
yang dihiasi dengan koleksi buku yang rapi dan bervariasi. Sebaliknya ruang
tamu dihiasi oleh lemari yang berisi guci dan patung-patung candi. Waktu
seorang muslim banyak yang dihambur-hamburkan, padahal seharusnya seorang
muslim memahami bahwa waktu adalah modal yang sangat fital untuk berkarya.
Seharusnya antrean yang panjang dalam bank, bisa dimanfaatkan untuk membaca
buku. Sebenarnya ada banyak manfaat membaca, diantaranya yang sangat sederhana
adalah kita bisa melihat keindahan dasar samudera tanpa harus menyelamya dan
kita bisa melihat keindahan bintang dan galaksi tanpa harus terbang keangkasa. Jadi
sudah saatnya seorang muslim harus rajin membaca.
Kedua,
Cinta Menulis. Menulis pada zaman Rasulullah sangatlah hidup.
Setiap ayat Al-Qur’an turun, Rasulullah mmemerintahan kepada sahabat dekatnya
untuk menulis, Zaid bin Tsabit, Ali bin dan Abi Thalib. Selain itu, Rasulullah
saw menugaskan Abdullah bin Said Ibnul
Ash untuk mengajarkan tulis menulis di Madinah dan memberikan mandat kepada
Ubadah Ibnush Shamit untuk mengajarkan tulis menulis. Jabir bin Abdullah r.a
menempuh perjalanan sebulan penuh dari kota Madinah ke kota ‘Arisy di Mesir
hanya mencari satu hadits. Ibnul jauzi menulis lebih dari seribu judul. Imam
Ahmad menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk mencari satu hadits.
Selain dari
itu, Rasulullah mempunyai sekitar 65 sekretaris yang bertugas menulis berbagai
hal khusus. Diantaranya, khusus menulis Al-Qur’an adalah Ali Bin Abithalib,
Zaid bin Tsabit, Utsman bin Affan, dan Ubay bin Kaab. Khusus mencatat
harta-harta sedekah depercayakan kepada Zubair bin Awwam dan Jahm ibnush
Shalit. Masalah utang dan perjanjian lain-lain ditugaskan kepada Abdullah ibnul
Arqam dan Al-Ala’ bin Uqbah. Bertugas mempelajari dan menerjemahkan bahasa
asing (Suryani): Zaid bin Tsabit. Sekretaris cadangan dan selalu membawa
stempel adalah Hanzhalah (Nuim Hidayat, 2009: 268)
Dalam buku Prof. Dr. Mustafa Azami
tentang hadits nabawi dan sejarah kodifikasinya mengisahkan bahwa Saad bin
Jubair berkata “Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku bisa mencatat dilembaran.
Bila telah penuh, aku menuliskanya di kulit sepatuku dan kemudian ditanganku.
Ayahku sering berkata “Hafalkanlah, tetapi sesekali tulislah. Bila sampai dirumah tuliskalah. Dan jika
engkau memerlukan atau tidak ingat lagi, bukumu akan membantumu” . Kekurangan
dan kesulitan tidak menghalangi para ulama untuk menulis.
Menurut
(Angelo, 1980:5), Menulis merupakan suatu bentuk berpikir, tetapi justru
berpikir bagi membaca tertentu dan bagi waktu tertentu. Salah satu tugas
terpenting sang penulis adalah menguasai prinsip-prinsip menulis dan berpikir,
yang akan dapat menolongnya mencapai maksud dan tujuannya. Yang paling penting
di antara prinsip-prinsip yang dimaksudkan itu adalah penemuan, susunan, dan
gaya. Secara singkat belajar menulis adalah belajar berpikir dalam/dengan cara tertentu.
Tradisi menulis mulai luntur dikalangan muslim padahal Islam yang sempurna
sudah mengisyaratkan segala kegiatan dianjurkan untuk menuliskanya termasuk
dalam bisnis. Firman Allah “Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang
ditentukan hendaklah kamu menuliskanya” (Q.S. Al-Baqarah: 282). Menulis bisa
membuat umur kita menjadi ‘panjang’. Imam Al-Bukhari menulis kitab pada abad
ke-8, sedangkan nama beliau masih harum hingga abad sekarang yaitu ke-20,
berarti umur nama beliau mencapai 12 abad atau 1200 tahun. Motivasi yang lain
bahwa menulis adalah bagian dari dakwah islam (Dakwah bil Qalam). Dengan menulis bisa memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada pembaca dan tulisan bisa dinikamati kapan saja. Benjamin
Franklin (salah seorang presiden Amerika) mengatakan “Jika anda tidak ingin
dilupakan orang segera setelah anda meninggal, maka tulislah sesuatu yang patut
dibaca atau berbuatlah sesuatu yang patut diabadikan dalam tulisan”. Seorang
politikus Amerika, John Taylor mengatakan “Pena adalah alat yang paling
berbahaya, Jauh lebih tajam dari pada pedang”. Sorang novelis Inggris, Bulwer
Lytton juga mengatakan “Dibawah Kekuasaan orang-orang besar, pena lebih tajam
dibandingkan pedang. Karena kekuatan pedang mampu melukai tubuh, sedangkan pena
akan mengobrak –abrik sejarah dan peradaban manusia. Maka menulis adalah
aktivitas yang sangat penting dilakukan (Fadlan Al-Ikhwani 2009: 56-58).
Aktivitas
membaca dan menulis bukanlah aktivitas anak TK saja, akan tetapi aktivitas yang
harus dilakukan orang dewasa, terlebih pemuda intelektual yang memiliki
pandangan kedepan tentang wajah bangsa dan negara. Umat Islam memilliki ribuan
Ulama yang memiliki aktivitas peradaban yaitu membaca dan menulis. Mari teldani
tokoh peradaban Islam Al-Jabar (Matematika),
Al Khawarizmi, Ibnu Sina (Kedokteran),
Ibnu Batutah (World Traveler), Ibnu
Haitam (Optician), Ibnu Khaldun (The Muqqadimah), Ibnu Maskawaih (Ethics), Ibnu Taimiah (Reformist), At-tusi (Astronom), Abu Nuwas (Poetry), Alfarabi (Logician), Al-Ghazali (Philosopher),
dan ulama abad ke-20 seperti Hasan Al-Bana, Sayid Qutb, Syekh Ahmad Khatib (Imam masjidil Haram dari minangkabau), Yusuf
Qardawi, Mohammad Natsir, A. Hassan, Buya Hamka, Ahmad Dahlan, Hasyim Ashari
dan masih banyak ulama lain yang bisa menginspirasi.
Selamat
membaca dan menulis. Jadilah bagian yang membangun peradaban madani.
0 comments:
Post a Comment