Tuesday, January 14, 2014

Meneladani Tradisi Ulama



Oleh: Azzuhfi Ilan Tinasar
Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaannya itu terlihat dari pedoman hidup seorang muslim yaitu Al-Qur’an dan keteladanan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Islam adalah agama yang syamil, kamil dan mutakamil, segala aspek kehidupan diatur dalam Islam dari bagaimana adab makan dan minum, menjaga kerbersihan hingga kepemimpinan dan kenegaraan (Daulah). Selain dari itu, kesempurnaan Islam diawali dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan. Maka ilmu adalah bagian yang pokok dari seorang ulama.
Ulama adalah orang yang paling mencintai ilmu. Orang yang takut kepada Allah ialah orang-orang yang berilmu. Berdasarkan Al-Qur’an 35: 8 hanya orang-orang yang berilmu yang akan merasa takut kepada Allah”. Orang yang berilmu adalah orang yang mengetahui dan memahami kebesaran Allah, kekuatan dan keagunganya, merasa dirinya kerdil di hadapan kekuasaan Allah, dengan ini akan menimbulkan rasa takut kepada Allah. Jika takut telah timbul niscaya timbullah ketundukan.  Segala perintah-Nya dilaksanakan dan segala larangan-Nya dijauhkan. (Prof. Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Hamka), 1984: 300-301).
Menurut Ulama besar Yusuf Qardawi, sesungguhnya problematika mendasar dari umat Islam adalah problematika ilmu. Kebangkitan umat harus diawali dari kebangkitan ilmu (tradisi ilmiah), lalu meraih obor ilmu peradaban. Kedekatanya para ulama dengan ilmu menjadikan inspirasi bagi umat islam untuk meneladani tradisi yang dilakukan oleh para ulama terdahulu. Sehingga apabila dilakukan tradisi ulama maka peradaban madani akan segera terwujud. Menurut penulis Ada dua tradisi  Ulama yang penting umat islam teladani adalah sebagai berikut:
Pertama, Cinta membaca. Perintah  membaca dalam Islam telah diajarkan Rasulullah saw semenjak ayat Al-Qur’an yang pertama turun “Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan tuhanmulah yang maha mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Surat Al-‘Alaq diatas mendasari tradisi Ulama. Banyak para ulama tersohor yang melakukan tradisi ini diantaranya adalah Abu bakar Al-Anbari membaca setiap pekan sebanyak 100 lembar. Syekh Ali ath-Thantawi membaca 100-200 halaman setiap hari. Imam Asy-Syafi’i terjaga semalam sampai fajar dalam mempelajari satu hadits dan masalah. Malam-malam beliau isi dengan membaca, shalat dan belajar. Imam Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu shalat dua rakaat setiap kali menulis satu hadits, serta berdoa meminta petunjuk Allah swt. Sehingga karyanya menjadi rujukan  jutaan umat muslim didunia.
Mundurnya umat Islam era sekarang disebabkan salah satunya adalah kurangnya kecintaan umat islam terhadap ilmu. Buku adalah salah satu cara agar ilmu itu bisa didapatkan. Hal ini bisa dilihat dalam ralita terkini bahwa perpustakaan-perpustakaan minim para pengunjung. Dirumah dan dikamar umut islam tidak memiliki pustaka yang siap untuk dibaca. Jarang sepertinya ruang tamu yang dihiasi dengan koleksi buku yang rapi dan bervariasi. Sebaliknya ruang tamu dihiasi oleh lemari yang berisi guci dan patung-patung candi. Waktu seorang muslim banyak yang dihambur-hamburkan, padahal seharusnya seorang muslim memahami bahwa waktu adalah modal yang sangat fital untuk berkarya. Seharusnya antrean yang panjang dalam bank, bisa dimanfaatkan untuk membaca buku. Sebenarnya ada banyak manfaat membaca, diantaranya yang sangat sederhana adalah kita bisa melihat keindahan dasar samudera tanpa harus menyelamya dan kita bisa melihat keindahan bintang dan galaksi tanpa harus terbang keangkasa. Jadi sudah saatnya seorang muslim harus rajin membaca.
Kedua, Cinta Menulis. Menulis pada zaman Rasulullah sangatlah hidup. Setiap ayat Al-Qur’an turun, Rasulullah mmemerintahan kepada sahabat dekatnya untuk menulis, Zaid bin Tsabit, Ali bin dan Abi Thalib. Selain itu, Rasulullah saw menugaskan  Abdullah bin Said Ibnul Ash untuk mengajarkan tulis menulis di Madinah dan memberikan mandat kepada Ubadah Ibnush Shamit untuk mengajarkan tulis menulis. Jabir bin Abdullah r.a menempuh perjalanan sebulan penuh dari kota Madinah ke kota ‘Arisy di Mesir hanya mencari satu hadits. Ibnul jauzi menulis lebih dari seribu judul. Imam Ahmad menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk mencari satu hadits.
Selain dari itu, Rasulullah mempunyai sekitar 65 sekretaris yang bertugas menulis berbagai hal khusus. Diantaranya, khusus menulis Al-Qur’an adalah Ali Bin Abithalib, Zaid bin Tsabit, Utsman bin Affan, dan Ubay bin Kaab. Khusus mencatat harta-harta sedekah depercayakan kepada Zubair bin Awwam dan Jahm ibnush Shalit. Masalah utang dan perjanjian lain-lain ditugaskan kepada Abdullah ibnul Arqam dan Al-Ala’ bin Uqbah. Bertugas mempelajari dan menerjemahkan bahasa asing (Suryani): Zaid bin Tsabit. Sekretaris cadangan dan selalu membawa stempel adalah Hanzhalah (Nuim Hidayat, 2009: 268)
Dalam  buku Prof. Dr. Mustafa Azami tentang hadits nabawi dan sejarah kodifikasinya mengisahkan bahwa Saad bin Jubair berkata “Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku bisa mencatat dilembaran. Bila telah penuh, aku menuliskanya di kulit sepatuku dan kemudian ditanganku. Ayahku sering berkata “Hafalkanlah, tetapi sesekali tulislah.  Bila sampai dirumah tuliskalah. Dan jika engkau memerlukan atau tidak ingat lagi, bukumu akan membantumu” . Kekurangan dan kesulitan tidak menghalangi para ulama untuk menulis.
Menurut (Angelo, 1980:5), Menulis merupakan suatu bentuk berpikir, tetapi justru berpikir bagi membaca tertentu dan bagi waktu tertentu. Salah satu tugas terpenting sang penulis adalah menguasai prinsip-prinsip menulis dan berpikir, yang akan dapat menolongnya mencapai maksud dan tujuannya. Yang paling penting di antara prinsip-prinsip yang dimaksudkan itu adalah penemuan, susunan, dan gaya. Secara singkat belajar menulis adalah belajar berpikir dalam/dengan cara tertentu. 
Tradisi menulis mulai luntur dikalangan muslim padahal Islam yang sempurna sudah mengisyaratkan segala kegiatan dianjurkan untuk menuliskanya termasuk dalam bisnis. Firman Allah “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskanya” (Q.S. Al-Baqarah: 282). Menulis bisa membuat umur kita menjadi ‘panjang’. Imam Al-Bukhari menulis kitab pada abad ke-8, sedangkan nama beliau masih harum hingga abad sekarang yaitu ke-20, berarti umur nama beliau mencapai 12 abad atau 1200 tahun. Motivasi yang lain bahwa menulis adalah bagian dari dakwah islam (Dakwah bil Qalam).  Dengan menulis bisa memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada pembaca dan tulisan bisa dinikamati kapan saja. Benjamin Franklin (salah seorang presiden Amerika) mengatakan “Jika anda tidak ingin dilupakan orang segera setelah anda meninggal, maka tulislah sesuatu yang patut dibaca atau berbuatlah sesuatu yang patut diabadikan dalam tulisan”. Seorang politikus Amerika, John Taylor mengatakan “Pena adalah alat yang paling berbahaya, Jauh lebih tajam dari pada pedang”. Sorang novelis Inggris, Bulwer Lytton juga mengatakan “Dibawah Kekuasaan orang-orang besar, pena lebih tajam dibandingkan pedang. Karena kekuatan pedang mampu melukai tubuh, sedangkan pena akan mengobrak –abrik sejarah dan peradaban manusia. Maka menulis adalah aktivitas yang sangat penting dilakukan (Fadlan Al-Ikhwani 2009: 56-58).
Aktivitas membaca dan menulis bukanlah aktivitas anak TK saja, akan tetapi aktivitas yang harus dilakukan orang dewasa, terlebih pemuda intelektual yang memiliki pandangan kedepan tentang wajah bangsa dan negara. Umat Islam memilliki ribuan Ulama yang memiliki aktivitas peradaban yaitu membaca dan menulis. Mari teldani tokoh peradaban Islam Al-Jabar (Matematika), Al Khawarizmi, Ibnu Sina (Kedokteran), Ibnu Batutah (World Traveler), Ibnu Haitam (Optician), Ibnu Khaldun (The Muqqadimah), Ibnu Maskawaih (Ethics), Ibnu Taimiah (Reformist), At-tusi (Astronom), Abu Nuwas (Poetry), Alfarabi (Logician), Al-Ghazali (Philosopher), dan ulama abad ke-20 seperti Hasan Al-Bana, Sayid Qutb, Syekh Ahmad Khatib (Imam masjidil Haram dari minangkabau), Yusuf Qardawi, Mohammad Natsir, A. Hassan, Buya Hamka, Ahmad Dahlan, Hasyim Ashari dan masih banyak ulama lain yang bisa menginspirasi.
Selamat membaca dan menulis. Jadilah bagian yang membangun peradaban madani.

 
Biodata : Beliau bernama Azzuhfi Ilan Tinasar, merupakan alumni jurusan geografi FIS UNP. Sekarang ia sedang menimpa ilmu di kursus bahasa Inggris, Pare, Kediri, Jatim. Beliau pernah menjadi ketua umum Forum Studi Dinamika Islam FIS UNP dan juga Ketua Umum Unit Kegiatan Kerohanian (UKK) Universitas Negeri Padang periode 2012.



0 comments:

Post a Comment