JP-Padang
Sepoian
Angin dan terik panas matahari meraba anak-anak Adam pagi ini (Selasa,
17/06/14). Tumpukan rapi batu segi lima menadah tempat merabah diri. Ya, ya.
Memang iya! Kicau kata merekah akan hendak tiba di suatu tempat nan memikat
akal. Tiada berpikir medan, lukisan kata tampak berkaca pada diri. Medan penuh
tanjakan, batu besar dan kecil, lumpur tanah, kayu akar, jembatan kayu dan
beberan air sungai menemani perjalaan pagi hingga sore hari ini. Tempat itu adalah
Air Terjun Nyarai, Lubuk Alung (LA) Kab. Padang Pariaman.
Untuk
menuju air terjun itu kami mesti melewati berbagai rintangan dan tantangan. Kami
yang hadir ke sana berjumlah sekitar 20 orang. Kami semua merupakan mahasiswa
Praktek Lapangan Kependidikan UNP dari SMA Pembangunan Lab. UNP. Kegiatan
trekking ini kami lakukan dalam rangka perpisahan sesama mahasiswa PLK dan
menambah kekompakan kami. Pergi ke sana kami mula-mula berangkat sekitar jam
9-an menggunakan sepeda motor dan satu mobil sewa memindahkan tubuh kami dari
kota Padang ke Kab. Padang Pariaman.
Awal
kedatangan kami, kami disuguhi dengan pemandangan sebuah warung dan posko
pembayaran tiket. Di depan tersorot indah baliho foto denah lokasi menuju Air
Terjun Nyarai dan foto Air terjun Nyarai yang menghijau. Di sana juga ada beberapa
orang petugas (pemandu wisata) dan juga administrator objek wisata alam yang
sering dikunjungi pelajar dan mahasiswa tersebut. Di posko utama juga menyediakan
penjualan pin cantik objek wisata Nyarai berkisaran 5.000-15.000 rupiah.
Tergantung dari ukuran pin-nya.
Setelah
melakukan registrasi di posko utama, kami membayar uang masuk 20 ribu
rupiah/orang. Pemandu wisata mengumpulkan kami dan juga memberi arahan sebelum
menuju tempat yang sangat dinanti. Kemudian kami memulai perjalanan ini. Di
awal mengasyikkan dan tidak begitu terasa lelah. Namun, di tengah perjalanan mata
kami selalu disoroti dengan hamparan semak, aliran air sungai kecil, aliran
lubuk dan pohon-pohon yang meninggi serta
berbagai tulisan “1000 m, 2000 m,
3000 m.” Tulisan-tulisan tadi sempat membuat kami dihantui rasa pasrah dan
sedikit kecewa. Tetapi pemandu wisata tetap menyemangati kami sehingga kami dituntun
sampai ke Air Terjun Nyarai. Perjalanan itu kami lewati dengan berbagai tanjakan
ekstrim dan penyeberangan yang menelan waktu dan jarah tempuh cukup panjang.
Selama
di perjalanan, pemandu wisata juga berbagi cerita dengan kami, apa yang
dilarang dan apa yang sepatutnya kami lakukan di Air Terjun Nyarai itu. Objek
wisata satu ini ternyata dikelola oleh Nagari setempat. Selain itu kearifan
lokal jelas tampak pada objek wisata ini. Tidak boleh mencoret dinding, menggunakan
kayu untuk membuat jembatan atau tangga penyeberangan, dilarang melakukan
tindakan asusila dan sebagainya. Salah seorang pemandu mengatakan, medan yang
dilalui benar-benar alami seperti jembatan atau tangga yang dibuat dari
kayu-kayu. Tidak terlihat kombinasi semen dan besi dalam pembuatan jembatan
atau tangga kecil tersebut.
Sanksi-pun
juga diberlakukan, pengunjung mencoret dinding batu di sekitaran Air Terjun
Nyarai, jika ketahuan maka akan dikenai denda sesuai aturan yang berlaku di
objek wisata tersebut. Selain itu rasa sadar dari guide dalam mengelola objek wisata alam itu terlihat ketika salah
seorang guide mengais sampah-sampah
seperti botol plastik yang bertebaran di sepanjang jalan. Kemudian dimasukkan
dalam sebuah kantong plastik untuk dibuang ataupun dijual. Ketika sampai di Air
Terjun Nyarai, guide tidak hanya
mengawasi gerak-gerik kami dari atas. Mereka juga membersihakan batu-batu besar
yang licin, sehingga lumut tidak menebali batu itu.
Usai
mandi, shalat dan makan. Kami-pun pulang melewati jalan alternatif yang tak
jauh beda rintangan jalannya. Bagaimana-pun juga kelelahan tadi terbayar sudah
ketika kami sampai di posko utama dengan kondisi selamat. Beragam cerita juga melekati
jiwa dan pikiran kami. Salam rindu Nyarai Waterfall,
LA! (HA)