Hari ke-1 (Senin, 24 Agustus 2015):
Hari
ini adalah babak awal bagiku. Allah swt adalah Tuhan Maha Pengatur segala gerak
kehidupan ini. Hal yang tidak aku duga malah aku elakkan, akhirnya terjadi
sudah.
Dua
hari sudah aku di LPTQ distrik Aimas, akhirnya aku dijemput oleh Bapak Kepsek
SD YPK Bukit Sion, Kuadas, Bapak Wenand Ulimpa, S.Pd.K dengan mengendarai
sebuah mobil sewa. Bersama istri Bapak Kepsek yang juga merupakan seorang
perawat PNS di Polindes di desa Kuadas. Saat penjemputan ada yang unik,
teman-teman di LPTQ terkejut melihat orangtua angkatku berkulit hitam, benar-benar
penduduk asli Papua yang cukup berbeda dibanding orangtua angkat (Kepsek
masing-masing) teman-temanku. Namun, ibuk Armiati, yang merupakan salah satu
dari dua orang dosen pendamping mengajakku berfoto mereka dan teman-teman.
Kemudian,
kami pergi menuju sekolah sasaran (penugasan/ penempatan). Ketika itu desa
Kuadas diprediksi Bapak Wenand hujan dengan potensi cukup lebat. Prediksi itu,
cukup tepat. Melewati KM 0 hingga sampai KM 40, serasa setengah mati (bahasa
orang di Desa Kuadas). Jalanan yang berbelok, berlubang besar dan diisi oleh
kubangan air hujan, sekitar jalan sering dijumpai tumpukan material jalan.
Alhamdulillah, bisa kami lewati dengan selamat mesti dipenuhi rasa sesak, cemas
dan takut. Di atas mobil, saya bercengkrama dengan Bapak dan Ibuk Wenand.
Ternyata mereka memiliki tiga orang anak, ada yang kuliah, SMA dan SMP. Mereka
memiliki dua rumah, di Sorong dan di Kuadas, tepatnya di atas sekolah. Sekitar
jam 18.45 WIT, kami sampai di Desa Kuadas. Sesampai di sana, kami mengambil
kunci rumah dinas Kepsek dan langsung menuju rumah tersebut.
Saat
datang, saya disambut oleh Komite sekolah dan beberapa orang siswa diantaranya
Jois dan Alu. Tidak lama kemudian, Bapak dan Ibu Wenand Ulimpa balik lagi ke
Sorong, karena masih ada urusan pertemuan di Dinas Pendidikan Kab. Sorong.
Tinggallah aku bersama dua orang siswa yang akan menemaniku malam ini.
Bercengkerama sebentar dengan mereka dan lanjut tidur.
Hari ke-2 (Selasa, 25
Agustus 2015):
Tidak
terasa hari sudah menunjukkan pukul 05.30 WIT. Keletihan di perjalanan membuat
aku tidur pulas dan alhamdulillah badan-pun mulai terasa lega. Pagi ini cukup
sibuk karena harus bersih-bersih rumah, memasak dan mencuci. Alhamdulillah sang
surya cukup bersahabat kala itu. Sore harinya, saya pergi mengitari sekolah dan
menyempatkan diri untuk memotret sisi-sisi sekolah termasuk kuburan besar
bertulis batu nisan Philipus Mobilala yang sekaligus merupakan nama jalan di
Kuadas. Kemudian, saya memotret pantai nan indah dan sorotan rumah di distrik
Makbon tempat dua orang SM-3T UNP mengabdi yakni bang Sutrisno dan Irwandi yang
mengajar di sekolah yang berbeda. Malam harinya kita makan bersama dan aku
mulai mengansur-angsur mengerjakan laporan, mana tahu saat Monev akan diminta.
Hari ke-3 (Rabu, 26 Agustus
2015):
Hari
ini saya dan dua orang siswa bernama Alu dan Nomen masak sambal pagi-pagi. Saya
masak nasi goreng, sementara Alu dan Nomen sibuk memasak sayur singkong dengan
gaya khas masakan sayur di desa Kaudas. Sehabis makan, saya bersiap-siap pergi
ke sekolah yang sangat dekat dari rumah tempat saya tinggal. Menggunakan
seragam mengajar warna coklat tua dengan disapit papan nama. Saya berkenalan
dengan Ibu Mobillus yang merupakan salah satu guru PNS di sekolah swasta
bernuansa kristen ini. Ibu Mobillus memberi saya sayur tumis parutan pepaya
muda. Rasanya manis dan cukup enak. Awalnya rada hati-hati, seiring waktu bakal
bisa menyesuaikan diri
Setelah
itu, aku kembali ke rumah dinas, istirahat. Setelah shalat zuhur baru masak
nasi. Kemudian melanjutkan menulis catatan harian. Tidak lama kemudian, hujan
lebat-pun datang.
Hari ke-4 (Kamis, 27 Agustus
2015):
Pagi
ini hari menunjukkan pukul 07.45 WIT. Selepas sarapan pagi, saya bersiap-siap
menuju sekolah. Tiba di sekolah saya bertemu Ibu Mobilus, wali kelas kelas VI
yang mengatakan bahwa nanti anak-anak akan dikumpulkan dalam satu kelas untuk
perkenalan dengan saya dan siswa-siswi. Antusias siswa ketika saya masuk cukup
besar. Saya meminta seorang siswa memimpin untuk menyanyikan lagu nasional.
Alhamdulillah, mereka pada hafal. Setelah itu ibu Mobilen, wali kelas kelas 1-4
meminta saya mengajar di kelas V. Akhirnya, saya masuk lokal. Hal pertama yang saya
lakukan adalah meminta siswa membuat biodata di kertas yang sudah saya bagikan.
Alamak, begitu lamanya. Hampir setengah jam lebih saya menunggu para siswa
untuk mengumpulkan kertas tadi. Maklum, kata ibu Mobillen, masih ada siswa yang
belum mahir membaca. Kemudian, saya melakukan game talking stop (memainkan spidol secara bergiliran sampai muncul kata
stop/ berhenti). Akhirnya dapatlah dua orang siswa mewakili lima orang temannya
untuk membacakan biodatanya.
Sore
harinya, selepas shalat ashar saya menggunakan waktu untuk bersilaturrahmi ke
rumah bapak kepala sekolah, Bapak Wenand Ulimpa, S.Pd.K yang juga merupakan
guru Pendidikan Agama Kristen di sekolah itu. Kemudian, menghabiskan waktu
untuk untuk melanjutkan menulis catatan harian, etnografi dan catatan
perjalanan pribadi saya.
Hari ke-5 (Jum’at, 28
Agustus 2015):
Rencana
Allah swt sungguh lebih baik daripada rencana manusia. Kekhawatiran tidak bisa
melaksanakan ibadah shalat Jum’at yang merupakan ibadah wajib bagi laki-laki
muslim. Alhamdulillah saya mendapat izin dari Bapak Ulimpa, untuk mengikuti
ibadah shalat jum’at. Pagi ini pukul 05.00 WIT saya bangun tidur, shalat subuh
dan siap-siap meunggu taksi alias angkutan umum yang hanya sekali pergi dna
sekali datang tiap hari kecuali hari Minggu, pak Sopir libur karena
melaksanakan ibadah rohani di gereja. Tidak lama menunggu, akhirnya sang mobil
datang. Bapak guru, bapak guru di depan duduk,” kata seorang perempuan muda
yang ketika itu sedang duduk di bangku depan. “Benar-benar saya sangat
dihargai,” ucap saya dalam hati.
Melewati
jalanan yang cukup meakutkan dengan tikungan yang lumayan tajam. Jalan tidak
semua beraspal, karena para pekerja sedang memperlebar jalan. Masih tampak
tumpukan material seperti pasir, semen, batu dan tanah galian yang berjejer di
tepian bahkan di tengah jalan. Di sekeliling jalan sebagiannya diapit oleh dua
jurang yang cukup dalam. Betapa tidak memacu adrenalin. Rasa takut dan cemas
terjatuh sempat memompai tubuh. Alhamdulillah, menikmati perjalanan nan penuh
kecemasan itu, akhirnya dua jam setelah itu saya sampai di pasar sentral kota
Soorng. Wah, ternyata pasar ini serupa dengan pasar raya kota Padang. Luas,
banyak barang jualan dan beragam suku bangsa lalu lalang di sekitar pasar.
Setelah membeli kebutuhan harian. Saya bertanya pada tukang karcis taksi,
“Bapak, di mana rumah makan Padang toh?,” tanya saya cepat. “Di sana, dekat
pohon mangga,” jawab sang Bapak. Saya-pun mendapati rumah makan Padang itu dan
memesan nasi pakai sambal daging rendang dengan harga Rp.23.000,- tanpa nasi
tambah dengan segelas air putih dingin. Sembari makan saya sempati bertanya
dan bercerita ternyata penjualnya adalah
orang Danau Singkarak yang sudah 23 tahun menetap di Kota Sorong itu.
Kemudian,
saya minta no hp karena tiap bulan ada pengajian yang diadakan oleh perantau
Minang di kota itu. Saya-pun bersiap-siap melaksanakan shalat Jum’at di masjid
At Taqwa yang tidak begitu jauh dari rumah makan itu, yakni hanya menyeberangi
satu jalan raya. Selepas shalat, saya jemput tas dna barang bawaan yang dititip
di warung Rumah Makan Padang tadi dna bersiap menuju terminal taksi yang juga
tidak begitu jauh. Selanjutnya, saya masih menunggu penumpang yang lain. Tetapi
saya lebih melanjutkan perjalanan mengitari pasar dan membeli tambahan
kebutuhan harian. Akhirnya, saya pulang
lagi ke dusun Kuadas.
Hari ke-6 (Sabtu, 29 Agustus
2015):
Saat
ini pukul 05.44 WIT, saya buka kelambu yang terpasang kokoh di atas tempat
tidur. Saya buka pintu kamar, saya lihat Nomen masih terlelap tidur di ruang
depan, begitu juga dengan Ulu yang sedang tidur pulas di dapur. Ulu sengaja
tidur di sana, untuk menjaga kucing agar tidak mengambil kebutuhan dapur.
Maklum, pintu belakang bagian atasnya tidak tertutup. Saatnya saya mengambil
wudhu dan laksanakan shalat subuh dan selanjutnya tidak lupa membaca Al qur’an
dan alma’tsurat pagi. Kemudian saya lanjut mencuci pakaian dan
mandi.
Matahari-pun
mulai menghamparkan teriknya. Angin selatan sejak kemarin malam bernostalgia di
desa ini. Saya bersiap-siap pergi ke sekolah, tiba di sekolah kami langsung
masuk ke ruang. Di sana berkumpul kelas 1-6. Selanjutnya, saya guru pertama
datang, langsung memulai kegiatan pagi dimulai dari berdo’a sesuai agama
nasrani, memberi motivasi dan meminta Savira memimpin lagu nasional dan daerah.
Ada dua lagu daerah yang dinyanyikan yakni lagu Suku Moi dan Suku Biak.
Kemudian,
kami melaksanakan kerja bakti alias goro yang rutin dilaksanakan tiap hari
sabtu. Goro pagi ini diawali mencabut rumput di depan dan di belakang sekolah.
Setelah itu, meratakan tanah sembari menanam bunga yang membuat indah sekolah.
Kemudian, membakar sampah yang ditumpuk belakang sekolah.
Selanjutnya,
saya, Ibu Mobulen dan siswa berfoto di depan sekolah. Betapa senangnya para
siswa ketika difoto. Tidak berapa kemudian, para siswa dikumpulkan untuk
berdo’a dan selanjutnya pulang ke rumah masing-masing.
Sore
harinya, saya bersiap-siap bermain dengan anak-anak di pantai Kuadas belakang
sekolah. Melihat keberanian semua anak melawan ombak yang cukup kuat di desa
ini.
Hari ke-7 (Minggu, 30
Agustus 2015):
Hari
ini adalah hari ketujuh, saya menempati kaki di Desa Kuadas. Desa yang
merupakan penduduk asli suku Moi dan semuanya beragama kristen Papua. Pagi ini,
saya, Ulu dan Nomen pergi jalan pagi di sekitar Desa Kuadas. Melewati belakang
Gereja Desa Kuadas dan tidak lupa berjalan sepanjang jalan lintas menuju
Kabupaten Tambrau. Tidak cukup satu jam, kami kembali lagi ke Desa, melewati
jalan turun berbatu. Setiba di jalan kampung (desa) saya melihat sekelompok
orang yang sibuk di sekitar Pondok BUP, tempat pertama saya berteduh ketika
sampai di desa ini. Saya disapa oleh salah seorang anggota BUP (Buku Untuk
Papua) yang merupakan komunitas sosial yang berasal dari berbagai usia dan
status pekerjaan.
Komunitas itu adalah independen dan cakupannya sudah nasional.
Sumber dana adalah dari para donatur proposal yang dijalankan dan berbagai
bentuk wirausaha seperti menjual atribut atau aksesoris Papua. Sebut saja Kakak
Danlin, yang merupakan salah seorang anggota BUP dari tujuh orang anggota yang
saya jumpai kala itu. Saya memperkenalkan diri sembari melihat kegiatan mereka
dalam menyelesaikan pondok bacaan yang akan diresmikan pada minggu ketiga
Sepetember 2015. Kemudian, saya pergi ke rumah Bapak Ulimpa dengan tujuan
meminta obat sakit kepala yang hampir seminggu sakitnya di dekat telinga. Lalu
mama (sebutan untuk istri Bapak Ulimpa) memberi saya tiga rol obat yakni
Dexomathon, Asam Mefemanat dan Vitamin B1 dengan syarat 3 kali makan sehari.
Setelah
itu, saya dan Ulu diajak sarapan pagi dengan mie rebus serta ditawarkan segelas
nescafe panas. Tidak lama kemudian, saya pergi pulang ke rumah untuk istirahat.
Siang sampai sore harinya, saya habiskan waktu bersama anak-anak di pinggir
laut alias tepi pantai Kuadas sembari melihat anak-anak bernostalgia di tepi
laut nan indah dan memesona itu. Selanjutnya, saya berjalan ke atas jembatan
yang cukup bagus dijadikan view photo.
Saya jumpai di sana sekelompok anak-anak bersama guru pergi picnic ke pantai
itu. Ternyata mereka dari kota Sorong yang lagi liburan akhir minggu.
Hari
ke-8 (Senin, 31 Agustus 2015):
Hari ini adalah hari senin, di mana merupakan
hari pertama saya menjalani aktifitas upacara bendera di SD YPK Kuadas. Begitu
mencengangkan, ketika anak-anak sama sekali tidak siap melakukan upacar
bendera. Apakah tidak ada latihan sbelumnya atau bagaimana, saya belum ada
diperintahkan untuk itu. Maka, pagi inilah saya mencoba melatih siswa dimulai
dari PBB nya dan pembacaan UUD 1945. Yang paling mengherankan ketika protokol
meminta pembina upacara yang saat itu langsung dipegang oleh Bapak Ulimpa,
Kepsek untuk memberi amanat upacara. Tiba-tiba meminta protokol untuk
melanjutkan kegiatan seterusnya, sampai pembacaan do’a. Ternyata, hal demikian
dilakukan bapak ulimpa melihat kondisi terik matahari yang dirasa membuat siswa
pingsan dan ketidaksiapan pelaksanaan upacara bendera pagi itu. Setelah itu,
siswa dikumpulkan pada satu kelas dan langsung pemberian amanat oleh Bapak
kepsek Ulimpa.
Beberapa
waktu setelah itu, saya, Bapak Antonius Mobilala dan Ibu Treshia Mobalus serta Bapak Wenand Ulimpa masuk ke ruang kantor majelis guru. Di sana kami mengadakan
briefing dadakan. Ternyata saya mendapat amanah untuk menjadi walikelas di
kelas VI. Sungguh amanah yang baru dan benar-benar menantang sekali, walaupun
siswa kelas VI hanya berjumlah 6 orang, tapi ini sangat berat karena mereka
harus disiapkan betul untuk mengikuti UN tahun 2016.
Setelah
briefing, saya pulang ke rumah, istirahat. Setelah shalat Zuhur, saya ke rumah
Bapak Ulimpa karena saat di sekolah beliau mengajak pergi ke Kali tempat sumber
air dan listrik di desa Kuadas. Ternyata saat tiba di rumah, saya waktu itu
ditemani oleh Savira dan Ana memanggil Bapak Ulimpa ternyata tidak ada sahutan.
Lalu Mega, salah seorang siswa di SD YPK mengatakan bahwa Bapak sudah pergi.
Mendengar itu, saya ajak Savira dan Ana pergi ke kali tersebut. Di tengah
perjalanan, saya mendapati Bapak Ulimpa dan Mama sedang berada di Sungai. Ada
mama yang sedang mencuci pakaian dan bapak Ulimpa sedang mencuci sepeda motor.
Menunggu Bapak Ulimpa siap, saya menghabiskan waktu di sana sambil bercengkrama
dengan Markus, Savira dan Roes sembari bermain air.
Selanjutnya,
kami menuju kali bendungan. Melewati hutan dan mengarungi beberapa anak sungai
kami lewati, sehingga sampailah di rumah tempat mesin turbin penggerak listrik
berada. Tidak sampai ke tempat bendungan, kami balik ke bawah. Saya dan mama
Ulimpa dan Marcus serta Reos pun pulang ke rumah masing-masing.
Setiba
di rumah, saya yang sedang berpuasa senin-kamis merasa sangat letih sekali.
Saya lakukan istirahat sebentar dan shalat ashar. Pukul 17.00 WIT saya mulai
aktifitas memasak. Memasak nasi, menggoreng ikan dna merebus daun kasbi (daun
singkong) yang dibawa Ulu dari kebun Mama nya.
Hari ke-9 (Selasa, 1
September 2015):
Hari
ini saya ke sekolah mengajar pertama kelas VI SD YPK Bukit Sion Kuadas. Memulai
mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, lanjut pelajaran IPA dan belajar KTK. Aku
sebenarnya belum banyak memiliki bekal ilmu mengajar SD karena maklum aku
bukanlah ex.mahasiswa dari jurusan PGSD. Namun, melalui SM-3T ini tiada pembeda
disiplin ilmu. Ketika aku berada di lingkungan ini, aku harus bisa dan berupaya
untuk profesional menjadi pendidik siswa/I SD. Bagaimana-pun caranya, karena
predikat guru SM-3T sudah dicap sebagai orang yang serba bisa. Tidak hanya
dalam hal akademik tapi juga dalam hal non-akademik atau kemasyarakatan
(Sosial). Pagi ini kucoba mengajar Bahasa Indonesia, melalui ilmu seadanya dan
berpedoman pada buku Bahasa Indonesia SD kelas VI KTSP 2006, ku coba
menguraikan materi semampuku. Begitu juga dengan pelajaran IPA. Aku ajak siswa
mengamati lingkungan sekitar karena materi pagi ini adalah mengenai tumbuhan.
Aku meminta siswa ke luar kelas dan mencatat mana yang termasuk tumbuhan hidup
dan tumbuhan mati. Ternyata di antara mereka tidak banyak yang bisa menemukan
tumbuhan mati. Lalu aku minta masing-masing mereka menuliskannya ke papan tulis
untuk diperiksa.
Selanjutnya,
pelajaran KTK. Aku awali dengan apa itu KTK dan pembagian seni. Ada seni drama,
seni tari dna musik. Namun, kali ini aku meminta siswa menyanyikan lagu wajib
nasional dan lagu daerah Papua. Ada sekitar lima lagu Papua yang mereka
nyanyikan yakni lagu Nemol Wana, Pau Maladum, Papuse, Aku Papua dan ada satu
lagu di mana aku lupa judulnya. Begitu semangatnya mereka menyanyikan lagu,
mesti ada yang masih malu-malu dan tersenyum sambil menyanyikan lagu daerah
mutiara hitam Indonesia itu.
Malam
harinya, Bapak Wenand Ulimpa datang ke rumah untuk memprint data LPJ Bosda
periode Januari-Juni 2015 dan memprint data jemaat GKI (Gereja Kristen Injili)
Papua. Perdana juga aku mencatat nama-nama jemaat gereja Bukit Sion Kuadas dan
nama-nama Pnt. (Penator) dan Sym. (???). Ternyata, saat mau memprint, tinta
habis. Aku isi tinta hitam, tapi tidak bisa bergerak kartrij nya. Aku telepon
Icha di kampung Padangpanjang dan aku tanya bagaimana mengatasinya, namun juga
tidak bisa. Lalu bapak Ulimpa, memintaku besok harinya untuk memperbaiki
sembari membersihkan printer. Maklum di sini satu lembar hitam putih saja
harganya Rp.4000,- kata Bapak Ulimpa. Begitu mahalnya…itu-pun masih di pusat
Kota Sorong.
Ketika
hendak pulang ke rumahnya, Bapak Ulimpa memberiku uang Rp.100.000,- untuk
membeli kebutuhan harianku agar dititip sama Bapak Antonius, guru Olahraga yang
sering mengantar sang istri mengajar ke SMP
1 Makbon dengan mengendarai Jongson (Perahu) menuju distrik Makbon.
Hari ke-10 (Rabu, 2
September 2015):
Pagi
ini agak berbeda daripada biasanyam tubuh terasa lemas, lapar. Padahal sudah
sarapan pagi dengan kopi cenkudu dan biskuit sekolah pemberian Bapak Ulimpa.
Lalu saat istirahat, aku pergi ke rumah dan langsung makan. Selanjutnya, aku
kembali lagi ke sekolah dalam mata pelajaran IPS dan Matematika.
Writer: Hasan Asyhari, S.Pd (Guru SM-3T UNP V, penempatan Kampung Kuadas, Distrik (Kecaamatan) Makbon, Kab. Sorong, Papua Barat.