Monday, April 2, 2012

“Mencari Identitas Kebudayaan Indonesia Raya”


1.Polemik kebudayaan dan latar belakang terjadinya
Polemik Kebudayaan merupakan salah satu judul buku yang disusun oleh Achdiat Kartamihardja pada tahun 1948 sesudah perang kemerdekaan. Berbagai tulisan yang mencoba membahas konsep tersebut dari berbagai perspektif, yaitu polemic, tampak terbit pada dasawarsa 30-an. Sebagaian dari tulisan itu menyangkut permusyawaratan perguruan Indonesia di solo, tanggal 8-10 Juni 1935. Musyawarah tersebut diikuti antara lain oleh S.T. Alisjahbana, Sanusi Pane, Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Poerbatjacaraka, Ki hajar Dewantara dan lain-lain. Alsjahbana berpendirian bahwa konSEsebenarnya baru timbul dan disadari pada abad ke-20 oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Sebelumnya telah berkembang kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di daeerah. Kemudian beliau menganjurkan agar generasi muda tidak terlampau tersangkut dalam masalah kedaerahan, sehingga bisa menciptakan suasana yang penuh dengan semangat nasionalisme.
Alisjahbana mengungkapkan pentngnua unsure-unsur budaya barat dalam mengkreasikan kebudayaan Indonesia seperti teknologi, orientasi ekonomi, keterampilan beorganisasi secara luas adalah ilmu pengetahuan. Dalam usaha membangun masyarakat Indonesia Raya,orang Indonesia mempertajam rasio akalnya dan mengambil alih dinamisme dari dunia barat.
Pandangan di atas memang berorientasi ke materialism, intelektualisme, dan indivisualisme. Sehingga memicu kecaman dari beragai pihak, sanusi Pane mengambakan bahwa kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan timur harus mementingkan kerohanian, perasaan dan gotong royong. Oleh karena itu Pane tidak menyetujui gagasan dari Sjahbana. Apalagi, jika harus keluar dari kondisi pra Indonesia itu akan memutus sambungan mata rantai sejarah Indonesia itu sendiri.
Di sisi lain, Poebatjaraka menyarankan agar orang Indonesia banyak mempelajari sejarah dan sejarah kebudayaannya di masa lalu. Agar mampu menciptakan kebudayaan baru yang .sementara itu, Ki Hajar Dewantara mengungapakan bahwa kebudayaan nasional itu merupakan puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Polemic kebudayaan tidak hanya mempersoalkan kebudayaan nasional tetapi malah berpokok pada masalah pendidikan kebudayaan. Di sini terlihat seakan-akan ada dua persepsi. Persepsi pertama mementingkan bagaimana kita dapat membuat generasi muda yang akan menjadi manusia Indonesia Baru itu bisa lebih cerdas pikiranya. Persepsi kedua tidak berpangkal kepada gagasan mengenai sifat-sifat yang yang masih kurang pada bangsa Indonesia, tetapi member tekanan pada bagaimana seharusnya pendidikan nasional itu mementingkan pengembangan nilai budi yang luhur, perasaan yang halus, kesusilaan yang tinggi dan mentalitas suka berkorban, dan sebagainya.
Secara garis besar yang menjadi polemic dari kebudayaan nasional Indonesia adalah:
·         Rasa kedaerahan
·         Tidak adanya acuan yang jelas dalam menetapkan standar budaya nasional
·         Adanya perbedaan tokoh-tokoh cendikiawan Indonesia yang belum menemukan satu titik temu.
2. Mainstream Pemikiran dalam Polemik Kebudayaan Indonesia Raya
Adapun mainstream dalam polemic ini adalah bagaimana caranya agar terciptanya kebudayaan nasional Indonesia yang menyeluruh dan tidak menimbulkan sifat kedaerahan lagi. Sehingga mampu menunjang terbentuknya integrasi bangsa. Dalam hal ini yang bisa menjadi mainstream atau pokok pemasalahan, yaitu:
·         Masyarakat yang majemuk
·         Masyarakat yang tersebar di wilayah yang relative luas
·         Besarnya biaya untuk mengadakan penelitian yang mampu mencari ataupun menemukan unsure kebudayaan yang bisa disatukan menjadi kebudayaan nasional.
Daftar Rujukan:
Koentjaraningrat. 1994. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan Nasional.Jakarta: Gramedia.
Miharja, Ahdiat K. 1998. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
http://vebymega.blogspot.com/2008/03/tak-ada-urusan-dengan-polemik.

0 comments:

Post a Comment