Teori dan Realita
Itulah kata-kata yang keluar dari
teman-teman saya di kampus, ketika kami berbincang-bincang mengenai anak jalan.
Masing-masing dari kita beradu pendapat atau argument yang berbeda-beda
berdasarkan teori yang sangat mereka pahami, ada yang melihat dari teori A, B,
C dan lain-lain. Maklum saja, karena saya dan teman-teman adalah mahasiswa
Sosiologi yang sanagat akrab dengan berbagai teori. Saat ini di bangku
perkuliahan saya sedang memakan puluhan
teori-teori dari para ahli sosiologi (sosiolog) tanpa harus patuh akan
teori-teori yang disampaikannya. Berbagai teori-teori saya pelajari mulai dari
teori klasik, modern hingga post modern.
Tak jarang ketika saya melihat
sebuah fakta atau realita di tengah masyarakat. Saya langsung melihat bentuk
nyata dari teori yang saya pelajari. Sebut saja mengenai pengemis yang
meminta-minta di sekitaran luar kampus . Dalam realita tersebut saya
menghubunginya dengan teori Dramaturgi oleh Ervin
Goffman. Teori yang melihat bagaimana peran dari aktor (pengemis) ketika
berada di panggung depan, saat mengemis di hadapan khalayak ramai dengan
panggung belakang, ketika pengemis tidak berada di hadapan khalayak ramai. Yang
tujuannya bukan untuk memainkan peran bak sebuah drama di atas panggung drama
(pentas) namun guna mempertahankan citra dalam masyarakat. Dalam mengemis belum tentu mereka
benar-benar seorang yang sangat miskin akan keadaan hidup. Hal itu saya jumpai
ketika di saat pengemis tadi menggunakan handphone yang memiliki fiture yang cukup canggih di belakang
sebuah taman di pusat kota.
Adapula realita lainnya, saya jumpai
ketika menjumpai seorang karyawan tata usaha di gedung fakultas tempat saya
kuliah. Karyawan yang bertubuh gemuk dan berjilbab itu kelihatan kiler dan menakutkan ketika saya berinteraksi
dengannya dalam sebuah urusan. Wajahnya yang kelihatan ingin marah selalu dan
suara yang agak keras dan kasar. Saya dapat memahami dari simbol-simbol yang
diperlihatkan bahwa dia orang yang keras, tegas, tidak suka bertele-tele. Jika
dikaitkan dengan teori sosiologi, realita seperti itu merupakan teori Kekerasan
Simbolik yang dikemukakan oleh Pierre
Bourdieu. Dengan simbol sikap yang ditampilkan tadi saya dapat menafsirkan
akan dia, meskipun belum tahu apakah kepada saya saja dia seperti itu ataupun
ke seluruh mahasiswa di fakultas saya yang berinteraksi dengannya. Sebagai
mahasiswa jurusan sosiologi saya sangat mudah melihat fenomena-fenomena atau
realita dari teori-teori yang saya pelajari dari bangku perkuliahan karena
sangat erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Dari teori tadi dapat
ditangkap berbagai realita yang ada dalam masyarakat, namun jangan sampai
termakan akan teori-teori yang akan merusak kaidah (keyakinan) kita kepada sang
khalik.(HASAN ASYHARI, Mahasiswa Jurusan
Sosiologi FIS UNP)
0 comments:
Post a Comment