“Peran Serta Masyarakat Terhadap Panorama
(Lobang Jepang) Bukittinggi”
(Pariwisata
Berkelanjutan)
Oleh:
Hasan
Asyhari,dkk.
Abstrak
Pariwisata adalah segala kegiatan dalam masyarakat
yang berhubungan dengan wisatawan. Jika semua kegiatan itu tidak mendatangkan
wisatawan, maka semua kegiatan itu dianggap gagal. Pariwisata merupakan salah
satu asset atau devisa bagi sebuah Negara setelah minyak dan gas, tidak
terkecuali juga bagi daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang menonjol
yang dapat dijadikan sebagai daerah objek wisata, seperti Bukittinggi yang
menyimpan banyak keindahan alam yang telah banyak dikelola sedemikian rupa
sehingga dijadikan sebagai objek wisata. Lobang Jepang adalah salah satu objek
wisata yang terkenal di Bukittinggi, disamping Ngarai Sianaok dan Panorama
alamnya. Pengelolaan dan perkembangan objek wisata ini tidak terlepas dari
campur tangan atau keterlibatan masyarakat yang juga sangat berperan.
Kata Kunci: Pariwisata, Peran, Wisatawan, Lobang
Jepang.
A.Latar Belakang
Pariwisata merupakan salah satu asset atau devisa
bagi sebuah Negara setelah minyak dan gas, tidak terkecuali juga bagi
daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang menonjol yang dapat dijadikan
sebagai daerah objek wisata, seperti Bukittinggi yang menyimpan banyak
keindahan alam yang telah banyak dikelola sedemikian rupa sehingga dijadikan
sebagai objek wisata. Lobang Jepang adalah salah satu objek wisata yang
terkenal di Bukittinggi, disamping Ngarai Sianaok dan Panorama alamnya.
Pengelolaan dan perkembangan objek wisata ini tidak terlepas dari campur tangan
atau keterlibatan masyarakat yang juga sangat berperan.
Masyarakat
sebagai komponen utama dalam pembangunan pariwisata berbasis masyarakat
mempunyai peranan penting dalam menunjang pembangunan pariwisata daerah yang
ditujukan untuk mengembangkan potensi lokal yang bersumber dari alam, sosial
budaya ataupun ekonomi masyarakat. UU No 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
menyatakan bahwa masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. Peran serta
masyarakat dalam memelihara sumber daya alam dan budaya yang dimiliki merupakan
andil yang besar dan berpotensi menjadi daya tarik wisata.
Hal yang melatarbelakangi dalam mengangkat tema
ini adalah karena banyak objek wisata yang ada di Kota
Indonesia
ini dikelola atas kerja sama antara Dinas Pariwisata dan lembaga terkait tak
terkecuali juga kerja samanya dengan masyarakat baik masyarakat lokal ataupun
agen-agen yang berpengaruh bagi perkembangan dan pengelolaan objek wisata.
Pengelolaan objek wisata Panorama (Lobang Jepang) juga tak terlepas dari peran
serta masyarakat dan keterlibatan mereka baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Pengelolaan dan sejauh mana masyarakat berperan dalam rangka
mengembangkan objek wisata yang nanti akan terlihat implikasinya dalam dunia
kepariwisataan.
B. Deskripsi Lokasi
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dikelilingi tiga gunung berapi yaitu Gunung
Singgalang, Gunung Marapi dan Gunung Sago, serta berada pada ketinggian 909 – 941 meter di atas permukaan laut. Kota
ini juga berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1 – 24.9 °C.
Sementara dari total luas wilayah kota
Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82.8% telah diperuntukan menjadi lahan
budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit
tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan ini, di antaranya Bukit Ambacang,
Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau,
Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya.
Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 - 110
m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang yang bermuara
di pantai barat pulau Sumatera.
Pembangunan kepariwisataan merupakan salah satu sektor andalan bagi kota Bukittinggi, banyaknya objek wisata yang menarik,
menjadikan kota ini dijuluki juga sebagai "kota wisata". Saat
ini di kota
Bukittinggi telah terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan. Hotel-hotel
yang terdapat di kota
Bukittinggi antara lain The Hills (sebelumnya Novotel), Hotel Pusako dan
sebagainya.
C. Sejarah Lobang Jepang
Lobang Jepang adalah sebuah terowongan bawah tanah
yang dibangun untuk kepentingan militer Jepang pada masa Perang Dunia II atas
perintah Pemerintahan Militer Angkatan Darat Jepang untuk wilayah Sumatera yang
berkedudukan di Bukittinggi di bawah komando Jendral Watanabe. Lobang Jepang
didirikan tahun 1942-1945, oleh penduduk-penduduk sekitar yang dipekejakan
secara paksa oleh serdadu Jepang. Untuk melakukan pembangunan tentara jepang
memanfaatkan tenaga masyarakat Indonesia
yang didatangkan dari beberapa daerah luar sumatera, seperti: Sulawesi, Kalimantan, dan jawa. Lobang jepang ditemukan masyarakat
pada tahun 1946 dengan kondisi yang sangat mencekam. Banyak tulang belulang
manusia yang berserakan dilantai sepanjang lorong terowongan.
Untuk masuk ke dalam lorong lobang Jepang,
terlebih dahulu harus menuruni 132 anak tangga yang mempunyai kemiringan cukup
vertikal. Tangga semen ini dibagi menjadi dua jalur yang dibatasi dengan stainless
steel, sehingga terasa lebih nyaman untuk dituruni. Satu sisi ditujukan buat
pengunjung yang ingin masuk ke dalam dasar terowongan Lobang Jepang. Sementara sisi
lainnya merupakan tangga keluar terowongan. Kedalaman lobang diperkirakan
sekitar 40 m dari permukaan tanah. Sedangkan panjangnya lebih kurang 1.470 m.
Lorong di dalam terowongan lebarnya sekitar 2 m.
Suasana di dalam
lobang cukup terang karena telah dilengkapi dengan penerangan listrik yang
cukup memadai. Dinding-dinding terowongan juga tidak terlihat suram karena
telah dilapisi oleh semen; bahkan sebagian lantainya telah dipasang paving
block. Dinding batunya bersekat-sekat yang dulu bertujuan untuk meredam suara
agar tidak terdengar keluar.Guratan pukulan paksa dengan benda agak tajam pun masih
terekam di sejumlah dinding nya, konon oleh Jepang para romusha dipasksa
menembus bebatuan ngarai sianok hanya dengan cangkul dan benda tajam
lainnnya.
D. Peran Serta Masyarakat Terhadap Panorama (Lobang Jepang) Bukittinggi
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003, diperoleh kesimpulan
bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata (DTW) di
Indonesia masih rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak adanya
ketentuan yang jelas dan rinci tentang pelibatan masyarakat dalam pengembangan
DTW. Sejauh ini, kebijakan tentang peran serta masyarakat dalam pengembangan
pariwisata, termasuk pariwisata budaya, hanya berisi himbauan agar masyarakat
diikutsertakan dalam upaya pengembangan tersebut tanpa adanya penjelasan
persyaratan, tata cara, dan tahap-tahap pelaksanaannya.
Selanjutnya, disebutkan juga bahwa hambatan dan
keterbatasan utama yang dihadapi untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan daerah tujuan wisata adalah tradisi politik dan budaya Indonesia
yang kurang mendukung, kondisi perekonomian yang kurang baik, kurangnya
keahlian di bidang kepariwisataan, kurangnya saling pengertian antara
pihak-pihak yang terlibat, kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan
keterbatasan modal masyarakat. Adapun faktor-faktor yang turut mempengaruhi
keberhasilan suatu program pelibatan masyarakat dalam pengembangan DTW adalah:
dialog dengan umpan balik dari masyarakat, kejujuran dan keterbukaan, pelibatan
dari awal, dan komitmen terhadap masyarakat. (Ratna
Suranti: 2005 dalam http://wisatadanbudaya.blogspot.com.
Pengelolaan Panorama Lobang Jepang tidak terlepas
dari peran serta masyarakat, khususnya masyarakat lokal atau yang sering
dikenal dengan host. Dibawah pengawasan Dinas Pariwisata, pembangunan
dan pengelolaan pariwisata panorama ini juga menjadi bagian penting dalam
masyarakat di sekitar areal parwisata. Pihak-pihak pengelola juga sebagian besar adalah masyarakat
sekitar yang menjadikan lokasi ini sebagai tempat mereka mendapatkan
penghasilan. Umumnya masyarakat berperan sebagai guide atau sebagai pedagang,
namun tetap dikoordinir oleh pengelola yang telah diutus oleh dinas pariwisata
yang sering disebut sebagai petugas lapangan.
Masyarakat DTW
setidaknya harus mampu berbicara bahasa inggris, setidaknya untuk percakapan
sehari-hari. Itulah yang disampaikan oleh Roni, masyarakat sekitar atau
setidaknya petugas-petugas yang akan berinteraksi dengan wisatawan asing. Peran
masyarakat dalam mempromosikan wisata daerah sangat dibutuhkan karena pihak
dinas pariwisata biasanya hanya mempromosikan wisata melalui brosur dan untuk
penyebarannya belum terlaksana dengan baik. Namun peran lain dari masyarakat
adalah sebagai informan ketika ada stasiun TV lokal yang datang dan mencari
informasi tentang wisata tersebut.
Petugas lapangan di
kawasan lobang Jepang Bukittinggi adalah salah satu perpanjangan tangan dinas
pariwisata yang akan mengontrol pengelolaan panorama. Menurut Roni Chaniago (54
tahun) seorang petugas lapangan, pengelolaan panorama dahulunya dikelola oleh
pihak swasta yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Pak Etek Marano.
Pengelolaan areal ini didasari oleh kepemilikan tanah, menurut masyarakat setempat
tanah panorama tersebut sebagian besarnya adalah milik pihak swasta tersebut.
Kemudian, tahun 1986 barulah areal ini dikelola oleh pemerintah dan di sahkan
sebagai objek wisata oleh menteri pariwisata saat itu, Fuad hasan.
Setelah disahkan
sebagai daerah tujuan wisata (DTW), bantuan dari luar negeripun mengalir.
Seperti halnya bantuan dari negara jepang, yang dahulunya adalah pihak yang
telah membuat lobang jepang tersebut sebagai area pertahanan pada Perang Dunia
II. Negara jepang membantu perenovasian lobang Jepang tersebut dalam pembelian
semen untuk dinding-dinding lobang Jepang tersebut. Namun, Randy seorang guide
di lokasi pariwisata lobang jepang tersebut menuturkan:
“Bantuan dari negara jepang tersebut hanyalah kedok
untuk menutupi kekejaman mereka dahulu ketika memperkerjakan masyarakat
Indonesia sebagai romhusa. Dinding-dinding
yang terbuar dari tanah adas tersebut menyisakan bekas-bekas pahatan
senjata yang digunakan para romhusa dalam membuat lobang pertahanan tersebut.
Jadi ketika dinding tersebut ditutupi oleh semen maka lukisan dari dinding
lobang akan tertutupi”. (Wawancara dilakukan dalam bahasa Indonesia)
Peran guide sangatlah
dibutuhkan dalam pariwisata yang melibatkan sejarah di dalamnya. Pemerintah
melakukan pembinaan kepada masyarakat sekitar khususnya pemuda yang
mendaftarkan diri untuk menjadi seorang guide. Menurut Anggi (18) salah seorang
guide,
“Dinas pariwisata telah membina
para calon pemandu sebelum mereka diturunkan kelapangan. Namun, guide dilokasi ini sangat berbeda dari guide dilokasi lain. Kami
sama sekali tidak digaji, pendapatan kami hanya tergantung dari tips yang
diberikan wisatawan dan juga tergantung dari jumlah wisatawan yang mengggunakan
jasa kami. Hal ini berbanding terbalik dengan guide lain yang bekerja di daerah
Sijunjung maupun Sawah Lunto yang mendapatkan perhatian dari pihak pengelola
dan dinas pariwisata setempat”. (Wawancara dilakukan dalam bahasa Indonesia)
Sama halnya dengan
anggi, Randy (25) yang juga seorang guide juga menyatakan hal serupa. Padahal
ada sekitar 20 orang pemandu yang sekarang ini bekerja di area wisata itu. Maka
sistem tenggang rasalah yang mereka gunakan untuk saling berbagi klien sehingga
pendapatan mereka tidak hanya terpusat pada beberapa orang guide saja.
Setidanya menurut Randy, ia hanya menjadikan profesi guide ini sebagai
pekerjaan sampingan di hari-hari wisata seperti sabtu, minggu atau hari libur
lainnya.
Dilokasi wisata ini juga ditemukan lokasi untuk wisatawan
berbelanja sovenir khas daerah Bukittinggi. Menurut seorang pedagang lukisan,
Iskandar (61), di izinkannya para
pedagang berjualan dekat panorama tersebut yang berlokasi dekat dengan
pemakaman umum adalah salah satu strategi pemerintah untuk menutupi pemandangan
kuburan di daerah pariwisa tersebut. Areal pertokoan juga merupakan tanah dari
masyarakat dan tidak pernah di permasalahkan oleh pemerintah. Namun pada tahun
1989-1990 pernah pemerintah tidak mengizinkan para pedagang berjualan dilokasi
pariwisata tersebut. Namun setelah itu pemerintah mengizinkannya, apa lagi
banyak wisatawan yang juga membeli. Seperti kutipan Pak Iskandar (61) sebagai
berikut:
“Dulu memang pernah pedagang
tidak diizinkan berjualan diareal ini. Namun seiring perkembangan dan jumah
wisatawan yang meningkat para pedagang juga menjadi salah satu penarik
tersendiri bagi masyarakat. Seperti waktu pak SBY datang, pak SBY justru
berbelanja dan juga membeli lukisan bapak. Atau ketika wisatawan yang
berbelanja, apalagi kalau wisatawan mancanegara. Mereka sangat senang melihat
hasil karya yang sangat menarik ini”.
(Wawancara dilakukan dalam bahasa Indonesia)
Salah satu tujuan
para wisatawan adalah berbelanja souvenir asli daerah Bukittingi. Misalnya
lukisan jam gadang atau kaos-kaos yang berlabelkan Kota Bukittinggi atau Adat Minang
secara keseluruhan. Dan wisatawan mancanegara juga membawa keuntungan yang
variatif bagi pedagang, khususnya pedagang lukisan. Menurut Iskandar,
“Kalau yang beli lukisan bapak
masyarakat sekitar atau wisatawan lokal, ya bapak jual harga standar. Namun,
jika yang berbelanja adalah wisatawan luar, ya bapak naikkan harganya. Misal
yang biasa bapak jual Rp. 10.000, ya kalau sama turis dijual Rp. 20.000 sampe
Rp.50.000. Namun tidak dalam mata uang Indonesia”. (Wawancara dilakukan dalam
bahasa Indonesia)
Selain itu pedagang yang berjualan di daerah wisatawan, minimal mengetahui
harga jual barang mereka dalam mata uang Negara lain. Karena menurut iskandar,
“Tidak mungkin atau aneh
rasanya ketika ada turis yang berbelanja barang dagangan kita lalu kita
sebutkan harga dalam rupiahnya, mereka kan tidak tahu dan mereka akan terkejut
jika ketika kita menyebut angka Rp.10.000, mereka akan terkejut karena terlalu
besar jumlahnya. Jadi kalau menjual kepada mereka bapak menggunakan mata uang
mereka misal uero. Jadi mereka lebih tertarik karena bapak bisa bilang satu
lukisan satu euro”. (Wawancara dilakukan dalam bahasa Indonesia)
Dengan adanya penekanan harga
seperti ini, maka para pedagang lukisan dan lainnya telah ikut andil dan
berperan aktif dalam pembangunan ekonomi masyarakat, baik dalam skala mikro
maupun makro.
Selain itu, dari
sudut pengunjung, pariwisata panorama (Lobang Jepang) merupakan lokasi yang
sering didatangi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Menurut petugas
lapangan Roni Chaniago (54 tahun), pengunjung di panorama ini, baik itu hanya
sekedar melihat pemandangan atau masuk ke lobang jepang telah mencapai batas
dari standar yang ditentuan atau target yang dimiliki dinas pariwisata setempat.
Sementara pengunjung menilai bahwa jika perbaikan atau renovasi yang bertujuan
untuk kenyamanan wisatawan hendaknya renovasi tersebut tidak menghilangan
keaslian dari peninggalan sejarah tersebut. Seperti yang dikatakan oleh
Yeti (40), sorang guru di salah satu SMA Negeri Padang,
“Renovasi lobang jepang
sebenarnya cukup bagus, karena kalau hanya mengandalkan lobang seukuran tentara
jepang dulu jelas mebuat malas pengunjung datang kesana karena ketidaknyamanan,
belum lagi kalau penerangannya masih berupa lampu minyak, jelas itu membuat
orang enggan datang karena suasana yang mencekam. Tapi kalau dilihat hasilnya
sekarang semen yang menutupi dinding lobang malah membuat hilang
guratan-guratan yang menjadi bukti bisu kekejaman jepang. kalau bisa biar
ketinggiannya saja yang diperbaikai untuk dindingnya tidak usah”. (Wawancara
dilakukan dalam bahasa Indonesia)
Sementara jika
dilihat dari tingkat kebersihan dan keamanan dari panorama ini ada dua versi
yang berlainan menurut pandangan petugas lapangan dan pedagang souvenir. Menurut Heru (40) seorang pengunjug asal Surabaya,
“Saya kesini bersama dengan keluarga saya, dengan tujuan
untuk melihat panorama, karena kawasan ini cukup asri dan juga keamanannya
terjaga meski kebersihan sedikit kurang mengenakkan pandangan mata. Jadi yang
perlu ditekankan oleh para petugas kebersihan dan masyarakat sendiri adalah
bisa menjaga kebersihan lingkungan agar lingkungan tetap asri”. (Wawancara
dilakukan dalam bahasa Indonesia)
Sementara menurut petugas lapangan Roni, petugas
kebersihan telah membersihkan area panorama pada pagi hari dan sore hari secara
maksimal. Meski jumlah petugas kebersihan hanya sekitar enam orang. Malahan
pernah dilakukan kegiatan gotong-royong yang melibatkan masyarakat setempat
dalam membersihkan objek pariwisata tersebut. Sebaliknya, menurut salah seorang
pedagang souvenir, Iskandar, setiap pagi para pedagang harus membersihkan
lingkungan pertokoan mereka karena tidak ada petugas kebersihan yang
membersihkan di area itu. Padahal menurut Iskandar, area pertokoan juga masuk
kearea panorama.
Jadi, petugas
kebersihan tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan demi menjaga
kebersihan kawasan wisata para pedagang
membersihkan rumput-rumput liar yang mulai tumbuh sekitar lokasi mereka
berdagang. Selain kebersihan, keamanan lokasi pariwisata sangat diperlukan. Karena
berdasarkan observasi lokasi ini sama sekali tidak ada security atau
petugas keamanan. Hal ini didukung oleh hasil wawancara dengan petugas lapangan
pengelola wisata panorama dan penjaga loket lobang jepang yang mengatakan,
“tidak ada petugas keamanan
dipekerjaan. Beberapa waktu yang lalu memang ada. Namun, petugas keamanan
tersebut sekarang telah naik pangkat menjadi Satpol PP. sehingga sampai sekarag
tidak ada lagi petugs keamanan. Lagian disini aman kok, meski ada binatang
hutan yang berkeliaran (monyet) namun jika muncul korban akibat gigitan
binatang tersebut maka akan ada asuransi dari pengelola wisata tersebut, dalam
hal ini petugas lapangan”. (Wawancara dilakukan dalam bahasa Indonesia)
Namun terlepas dari
itu semua, masyarakat sangat antusias sekali dalam kemajuan lobang jepang
tersebut, terutama dalam segi keamanannya. Masyarakat memberikan kontribusi
penjagaan secara langsung maupun tidak langsung. Seperti terlihat pada jalan
bagian paling belakang, orang-orang yang sembarangan masuk dari jalan tersebut,
akan ditegur dan malahan jika mereka melawan akan diteriaki maling. Sehingga banyak orang yang berpikir dua kali
jika melewati jalan belakang tersebut.
Dalam hal promosi, pengunjungpun
sebenarnya secara tidak langsung telah berperan terhadap kemajuan objek wisata
tersebut, seperti yang di ungkapkan Yeti (40) seorang guru SMA di Padang:
”Walaupun ibu tidak begitu tahu
mengenai Panorama terutama lobang Jepang, akan tetapi ibu selalu memberikan
penjelasan yang baik (promosi) tentang pariwisata tersebut, terutama kepada
kerabat-kerabat dan tetangga di rumah, sehingga merekapun ingin secara langsung
melihat panorama itu. Ya, walaupun mungkin peranan ibu sangat kecil dalam hal
ini, tapi ibu merasakan ada kebahagiaan tersendiri nak, apabila kita bisa
berbagi cerita”. (Wawancara dilakukan dalam bahasa Indonesia)
Sementara jika
dilihat dari pengunjung yang datang, berdasarkan informasi dari petugas penjaga
loket, pengunjung yang datang ke Panorama melebihi target. Meski tidak
tercantum dari berapa jumlah tiket yang terjual, namun jumlah pendapatan yang
target awalnya hanya Rp 900.000.000/tahun, ternyata mampu melebihi angka 1 miliyar.
Menurut
Roni, meski tidak hari libur panorama tidak pernah tanpa pengunjung. Dan jika
ada pengunjung yang mengkritik, biasanya mereka akan melapor ke kantor
pariwisata setempat. Jika kembali ke sejarah lobang jepang, sampai sekarang
masih tersimpan tiga misteri lobang Jepang. Pertama, berapa banyak korban
yang timbul akibat pembantaian di dalam lobang Jepang? belum diketahui.
Kedua, siapa sebenarnya jendral Watanabe dan bagaimana riwayat hidupnya?
Juga tidak diketahui. Ketiga, kemanakah tanah galian lobang jepang tersebut
dibuang? hingga sekarang masih menjadi misteri.
E. Kesimpulan
Pengelolaan daerah
wisata panorama (Lobang Jepang) Bukittinggi, tidak hanya merupakan peranan dari
pemerintah dan dinas pariwisata setempat, namun juga membutuhkan andil dari
masyarakat. Meski tidak dominan, peran masyarakat di lokasi wisata bisa dilihat
dari respon masyarakat dalam berpartisipasi dalam pariwisata dan ekonomi. Pemanfaatan areal perkuburan yang dizinkan oleh
pihak dinas pariwisata juga menjadi pendukung penyempurnaan pemandangan. Dalam
artian, masyarakat yang berperan sebagai pedagang dapat menutupi area
perkuburan untuk memberikan kesan yang baik terhadap pariwisata tersebut.
Kurangnya apresiasi pemerintah dalam bidang
kesejahteraan masyarakat yang bekerja di lokasi pariwisata membuat masyarakat
tidak terlalu aktif dalam pariwisata, seperti halnya para guide. Namun
terlepas dari itu semua, masyarakat sangat antusias sekali dalam kemajuan
lobang Jepang tersebut, terutama dalam segi keamanannya. Masyarakat memberikan
kontribusi penjagaan secara langsung maupun tidak langsung. Seperti terlihat
pada jalan bagian paling belakang, orang-orang yang sembarangan masuk dari
jalan tersebut, akan ditegur dan malahan jika mereka melawan akan diteriaki
maling. Dalam hal promosi masyarakat
juga memberikan kontribusi secara tidak langsung, mereka yang pernah ke objek
wisata Panorama, biasanya menceritakan kepada kerabatnya dan tetangganya
mengenai keunggulan wisata tersebut. Begitu juga dalam hal kebersihan, walaupun
terkesan memaksa, akan tetapi masyarakat tetap mengerjakannya, dan hal tersebut
tidak terlepas dari kerja sama mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2007.
Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Diakses tanggal 1 Desember 2011).
Soekadijo, RG. 1997. Anatomi
Pariwisata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.