Pasar
yang ramai di pusat perbelanjaan tradisional kota Batusangkar. Ada seorang Ibu
yang menjual sayur bayam segar. Hampir tiap hari ia menjual sayur ke Pasar
tradisional yang terletak di kota Pagaruyung itu. Bayam itu ia tanam dengan
luas tanah kurang dari empat meter di depan rumahnya. Sebut saja, Ibu Amidah
namanya. Wanita tua berbadan kurus dengan lilitan selendang kumal di atas
kepala nya. Perupaan itu selalu mewarnai penampilannya tiap hari dan di mana
pun ia berada. Ia tinggal lumayan jauh dari pasar tempat ia berdagang sehingga
harus ditempuh dengan menaiki angkutan kota. Wanita yang hidup hanya berdua
dengan suami yang sudah tak dapat bekerja ini. Membuatnya harus memikul beban
ekonomi sendiri. Dua orang anaknya yang pergi merantau tak pernah ada kabar
semenjak mereka pergi merantau ke negeri orang.
Usaha
mendapatkan berbagai informasi telah ia lakukan. Namun, apa daya Tuhan belum
mempertemukan ia dengan kedua orang anaknya. Apakah masih hidup atau sudah
tiada. Tak mungkin berbadan sendiri ia melancong ke negeri orang. Apalagi kaki
yang sudah tak kuat lagi untuk berjalan. Tak itu saja yang jadi masalah, biaya
untuk ke sana juga tak ada. Meskipun sudah pernah terlirik bantuan keluarga
miskin, namun itu cuma tak rutin ia dapati. Tentu tak akan mampu menutupi
segala keluarganya. Dengan usia yang sudah tua tak ada keinginan untuk meminta
lebih selain bisa makan untuk hidup
sehari-hari.
“Pak,Ibu
jualan dulu ya Pak!” izinnya kepada sang suami yang sudah bertahun-tahun hidup
dengan kaki lumpuh. Berbagai pengobatan telah dilakukan, namun tak juga kunjung
sembuh. Apakah ini karma yang diterima suaminya sewaktu menjadi pedagang
terompet. Dulu suaminya sering mencaci bahkan mengganggu orang-orang lumpuh di
tempat ia berdagang. Alunan bunyi terompet yang amat bising dan sangat
mengganggu. “Ia Bu, hati-hati saja,” balasnya. Kemudian ia pergi ke pasar
tradisional tempat ia mencari nafkah. Sembari menunggu angkutan ke pasar
berwarna merah muda itu, ia sempatkan untuk menjenguk tetangganya yang kemalangan
yang berada tak jauh dari tempat biasanya ia menunggu angkutan itu. Setelah itu
baru ia berangkat menuju Pasar.
Setiba
di Pasar ia kembangkan tikar kecil tempat untuk menaruh beberapa ikat sayur
bayam yang ia bawa dari rumah. Sang mentari terang yang datang sejak pagi harus
pergi. Hujan pun turun. Sayur-sayuran itu harus ditaruhnya di tepi kedai
penampungan tempat ia biasa mengembangkan tikar plastik birunya. Lalu lalang umat
manusia selalu ia perhatikan. Allahu Akbar, Allahu Akbar!!. Suara azan pun menggema
merdu dari sudut kanan pasar. Ia pun pergi melaksanakan shalat zuhur ke
Mushalla yang cukup nyaman itu. Tiap terdengar azan masuk ia segera untuk
melaksanakan ibadah shalat berjamaah di Mushalla yang tak jauh dari tempat ia
jualan itu. Dengan memakai mukena mushalla, selendang berbau dan berwarna
nano-nano itu selalu ia lilit sebagai penutup rambut kepalanya yang sudah
beruban itu. Hal demikian selalu menjadi bahan gosip jemaah wanita di mushalla.
Tak terlalu di ambil pusing oleh wanita berwajah keriput bak kertas yang
diremas-remas itu. Faktor ketuaan bisa jadi membuatnya tak terlalu acuh dengan
tiap perkataan jemaah wanita yang menggosipnya.
***
Pernah suatu hari, wanita yang hamil muda
duduk di sebelahnya marah kepada Ibu Amidah. Lalu menghardiknya. Tak sengaja
wanita tua itu mengembangkan sehelai selendang putih kumal bercak hitam,
berbau, dan berwarna kuning tua di depan wanita hamil muda itu. Tiba-tiba ia mual-mual
hingga mengeluarkan sempat mengeluarkan semangkuk kecil muntah. Maklum saja
wanita itu baru hamil anak pertama dan belum makan garam akan gejala-gejala
selama kehamilan. Setelah dihardiknya, ibalah hati wanita tua itu. Banyak mata
yang melirik heran sikap wanita hamil muda itu terhadap Ibu Amidah. Atas kejadian itu berpindah lah Ibu Amidah ke shaf
bagian belakang dengan sedihnya. Namun juga ia masih bersikukuh untuk tetap
shalat di sana.
Setelah
shalat, ia pun pergi ke tempat ia jualan dengan memegang sehelai plastik putih
bekas yang ia bawa dari rumah untuk menempuh jalan yang masih dibanjiri oleh
air mata awan saat itu. Tak ada payung yang ia miliki, terpaksa menggunakan apa
yang ada sebagai pelindung dirinya yang sudah tua dan rentan sakit. Di pinggir jalan kecil depan kedai bahan-bahan kue ia
berjualan. Ditunggu lah para pembeli dengan sorak pelan dalam hilir mudik
kedatangan orang-orang yang lewat. Azan shalat Ashar pun berkumandang. Ia pun
menitip sayur bayam yang tinggal beberapa ikat lagi ke kedai bahan kue depan
tempatnya berjualan. Wanita yang sangat disiplin dalam menjalankan ibadah
shalat ini selalu menjadi perhatian oleh gharin mushalla tempat ia berbicara
dengan sang khalik. Meski pun selalu dicaci maki ia tetap sabar. Setelah
selesai shalat ashar. Seorang gharin bertubuh cukup tinggi itu menghampiri Ibu
Amidah yang baru keluar dari pintu keluar.
“Ibu, gimana kabarnya Buk?” kata gharin itu
dengan suara iba.
“Ibu,
tak apa-apa nak. Ibu, mau jualan dulu,” balasnya.
“Ya
syukurlah Bu, Ibu hati-hati ya!” pesan lelaki itu.
Sang surya pun mulai tenggelam, Ibu
itu pun pulang ke rumah. Sejak pagi ia berjualan, masih banyak sayur bayam yang
tersisa. Mungkin karena hujan yang terlalu lebat. Membuat pembeli tak terlalu
melirik sayuran yang ia jual. Atau bisa saja melihat penampilannya yang kurang
enak dilihat dengan bercak-bercak hitam di selendang putihnya. Namun, hal itu
tak membuatnya pasrah. Masih ada hari esok. Ia awetkan sayur-sayur itu dengan
air biar tak cepat layu untuk dijual esoknya. Kejadian seperti hari kemarin tak
akan ia harapkan lagi. Ia pun, mencuci selendang kumal itu. Dicuci tak
dicucipun rupanya tak berubah. Malah bau yang sedikit berkurang. Nama nya saja
barang lama. Selendang putih pemberian seorang penjual mainan lima tahun yang
lalu selalu ia pakai, ia rawat hingga bertahan adanya sampai sekarang.
Sembari
menyuapi sesuap-sesuap nasi kepada suaminya yang lumpuh itu. Ia mengadu kepada
suaminya mengenai kejadian yang ia rasakan tadi siang saat akan shalat zuhur di
mushalla dekat pasar itu.
“Bapak, seandainya anak-anak kita yang merantau
itu pulang dengan sendirinya. Tentu Ibu tak akan dihina dan dicaci seperti ini
ya Pak..” ungkapnya dengan haru.
”Ya
Buk, sabar aja ya Buk. Ini sudah takdir kita. Ibu harus sabar ya!“ kata Bapak
yang lumpuh itu.
Sang
surya pun muncul mewarnai keindahan Gunung Marapi yang semula gelap. Hari baru
pun tiba. Saatnya Ibu Amidah harus cepat-cepat ke Pasar dengan membawa puluhan
ikat sayur bayam dari kebun kecilnya. Maklum, hari itu adalah hari pasarnya
kota Batusangkar. Suasana pasar yang sangat ramai oleh para pembeli dan cuaca
yang lumayan panas. Membuat tubuh Ibu Amidah dibasahi keringat. Barang dagangan
Ibu Amidah pun laris terjual. Cuma seikat yang tersisa. Bersyukur Ibu Amidah
saat itu. Kenapa tidak, hari itu ia memperoleh uang lebih dari 40 ribu rupiah
yang akan ia simpan setengahnya untuk membeli selendang baru dan membeli pupuk
tiap minggunya.
Waktu
shalat zuhur masuk dan ia siap-siap pulang sambil menanam biji bayam untuk ia
tanam di lahan yang masih kosong di belakang rumah. Ia pun pulang ke rumah.
Setiba di rumah ia sendirian. Kemudian mengambil perlengkapan dan alat-alat
untuk menanam bayam. Ia siram dan beri pupuk demi mengharapkan daun yang banyak dan besar-besar. Tak hanya dijual ke Pasar.
Bayam-bayam Ibu Amidah juga dimanfaatkan untuk makan hewan ternak peliharaan
suaminya.
***
Hari
ini berbeda dengan dua hari sebelumnya. Ia terbaring tidur di rumah. Tak
ada yang dapat ia lakukan selain
pekerjaan di rumah. Demam yang ia derita membuat Ibu Amidah terpenjara dalam
rumah. Apalagi cuaca hujan yang sangat lebat hari ini membuatnya terpaksa
mengadu nasib di rumah yang sangat memprihatinkan itu. Rumah kecil yang
dindingnya semua terbuat dari kayu dengan semen di lantainya. Selalu dibasahi
dengan tetesan-tetesan air yang berjatuhan dari beberapa helai atap sudut kanan
rumah. Selendang yang ia pakai juga kena tetesan air. Tak ada kemunculan panas
matahari hari itu. Sehingga, ia terpaksa memakai selendang itu untuk pergi
dagang sayur bayam esok hari nya.
Kejadian
beberapa hari yang lalu terulang kembali. Sudah cukup diserbu oleh berbagai celaan
dan hinaan jemaah yang shalat di sampingnya. Hari ini ia diusir oleh wanita
rentenir yang hendak shalat di mushalla itu. Ketika Ibu Hamidah hendak mengambil
wudhu ia sengaja menyangkutkan selendang yang masih lembab dan berbau akibat
tetesan air kemarin. Di atas sangkutan kepala wanita rentenir itu ia letakkan
selendang itu. Setelah berwudhu ia mengambil selendang itu. Mua’azin pun
mengumandangkan iqamat. Ia pun tergesa-gesa menuju tempat shalat. Saat ia ambil
selendang itu tiba-tiba lepas dan menyangkut di atas kepala sang wanita
bertubuh besar dan bersuara agak keras itu.
Dengan
suara keras wanita itu memarahi, menghardik malah sempat mengusir Ibu penjual
bayam itu keluar dari tempat wudhu. Ibalah hati Ibu berbadan kurus itu. Ia
harus menerima pil pahit itu untuk ke sekian kalinya. Kelihatan sedih dengan
wajah simpul malu Ibu Amidah lekas masuk ke dalam Mushalla dan duduk di shaf
pada bagian belakang yang jelas jauh dari wanita yang menghardiknya itu. Ia tak
mau gara-gara kejadian yang sudah beberapa kali terulang di tempat yang sama mengganggu
jemaah lain. Seusai shalat ia ditemui lagi oleh lelaki bersuara merdu penjaga mushalla
itu. Ia mempersilahkan Ibu Amidah masuk ke dalam ruangannya yang berada di
belakang mushalla. Ia menghibur Ibu Amidah dan memberi semacam semangat kepada
Ibu Amidah.
Akhirnya,
sampai termiang oleh pikirannya untuk membelikan Ibu Amidah Selendang putih
yang baru. Ia tak ingin lagi melihat hinaan orang-orang yang shalat di mushalla
yang ia urus terhadap Ibu Amidah. Kemudian ia ambil uang dari dalam lemari
kecil kamarnya. Tak hanya sebatas pemberian uang. Lelaki itu juga menemani Ibu
Amidah untuk membeli Selendang putih yang baru ke kedai Jilbab. Sangat
senanglah hati Ibu Amidah sampai bercucuran Air Mata Ibu Amidah.
“Terima
Kasih banyak ya nak. Ibu tak ada menginginkan kehebohan di mushalla mu itu.
Niat Ibu hanya satu untuk beribadah..” ungkapnya seperti menangis.
“Iya
Buk,saya paham kok Buk. Ibu banyak sabar ya,” balasnya.
“Ibu
sudah menabung untuk membeli selendang baru, namun uang masih belum cukup,”
ucapnya.
Setelah
itu, Ibu Amidah pulang ke rumah. Penuh perasaan bercampur ia hendak menuju
rumah nan sangat sederhana itu sambil memikul beberapa ikat sayur bayam di
pundak tubuhnya.
***
Writer: Hasan Asyhari