Pagi
yang mendung di daerah agak terpelosok kota Painan bermukim satu keluarga yang
hidup sederhana. Di sana ada Alan, Rosa adik cewek Alan. Piki adik cowoknya dan
Pak Zuhfi ayahnya. ”Harus berubah!,” ucap Alan sambil memandang pohon rambutan
yang amat lebat buahnya di belakang rumah. Gara-gara omongan seperti itu Alan
dipanggil ayahnya.. Perasaan sedikit takut menemani Alan ketika ia mulai panggilan
ayahnya yang sedang membuat alas kaki serabutan. “Emang mau pergi kemana nak?” tanya
ayah Alan dengan tegapnya. Terdiam sejenak Alan mendengar respon lelaki
bertubuh lumayan kurus itu.
“Ayah,
izinkan Alan pergi merantau ke Medan Yah!”
“Alan
ingin merubah nasib keluarga kita, membantu biaya pengobatan Ayah. Alan ingin
membantu biaya sekolah Rosa dan Piki,” balasnya dengan suara agak haru. Sudah
hampir tiga tahun ia tamat SMK. Keinginan mulia sang anak untuk merubah nasib
keluarga mulai terpikirkan. Tak ingin lagi hidup dalam kondisi serba kekurangan
dan diliputi utang demi keberlangsungan hidupnya dan keluarga.
“Jika
kamu pergi merantau siapa yang akan membantu ayah mencari serabutan di hutan
nak?,” ungkap laki-laki yang hidup tanpa didampingi sesosok sang istri. Maklum,
Ibu Alan sudah meninggal dunia sewaktu ditabrak truk di daerah sekitar pabrik
tempat ibunya bekerja beberapa tahun yang lalu.
“Kalau seperti itu alasanmu nak. Apa daya bagi
ayah tapi kamu harus usaha dulu mencari lowongan kerja di kota Padang. Seandainya
tak dapat juga baru cari informasi lowongan kerja di kota Medan. Tentu yang
sesuai dengan keinginanmu nak,” tangkas ayah Alan dengan yakinnya.
Alan anak pertama dari Pak Zuhfi tentu tak mau
tinggal diam saja melihat getir kehidupan keluarganya. Tahun demi tahun dilalui
tak ada perubahan yang terjadi malah keparahan ekonomi yang bertambah. Utang ke
sana utang ke sini. Rosa yang sebentar lagi tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) akan
melanjutkan kuliah. Sebab tamatan SMA harus kuliah karena tidak memiliki skill (keahlian) seperti tamatan SMK,
Piki sebentar lagi tamat SMP juga harus masuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
dan ayahnya yang sering sakit-sakitan itu harus berobat sekali sebulan ke salah
satu Rumah sakit berskala Internasional di kota Padangpanjang.
Penyakit
diabetes yang menyerang ayah Alan sejak umur 42 tahun itu menjadikan Alan
sebagai tulang punggung keluarga yang kedua. Jika diharapkan pemasukan dari ayah
belum tentu kebutuhan sehari-hari keluarganya terpenuhi meskipun makan dengan
tempe, tahu dan ikan asin. Toh butuh beras, minyak goreng, cabe merah giling
dan minyak tanah untuk masak. Yang harganya akhir-akhir ini lumayan melambung
tinggi.
Biasanya
dalam sekali berobat bisa mengais kantong sekitar 200 ribuan. Tak sebanding
dengan pendapatan ayahnya cuma 30 ribu rupiah sehari. Itu pun kalau alas kaki serabutan
ayahnya terjual habis. Meskipun sudah terdata sebagai keluarga miskin dari
kelurahan namun tak bakal mampu menanggulangi semua biaya pengobatan ayahnya
tiap bulan. Untung saja Alan yang tamatan SMK memiliki keahlian di bidang
Pariwisata di salah satu SMK Favorit di kota Painan. Dengan sertifikat keahlian
yang ia miliki, Alan mulai memasukkan lamaran ke berbagai biro perjalanan yang
ada di kota Padang. Kantor yang ia tuju
pertama kali ialah kantor biro perjalanan tempat ia pernah praktek kerja
lapangan dulu. Teringat Alan di akhir
praktek kerja lapangannya dulu, ada seorang Bapak yang menyuruhnya kerja di
sini setelah tamat SMK. Tapi setelah didatangi Bapak itu tak ada. Tak ada lagi
tempat meminta bantuan. Sebab yang kerja di sana baru-baru semua. Tak ada
satupun yang ia kenal. Lalu ia pergi dari tempat itu dan mencari kantor biro
perjalanan lain. Ternyata juga tak ada yang bisa ditempati Alan, sebagai tempat
pengubah nasibnya dan keluarga.
Ia
pun mulai pasrah. Suara azan yang menggema dari arah Masjid Asliyah
menggerakkan hatinya untuk shalat ke Masjid nan penuh sejarah itu. Allahu
Akbar!. Setelah usai shalat, ia pun memurungkan hati untuk kembali ke Painan. Setiba
di terminal bis ke Painan ia berjumpa dengan seniornya dulu waktu SMK. Sebut
saja Jaka namanya. Ia juga berniat pulang kampung ke Painan. Mereka pulang
dengan bis yang sama. Lalu mereka pun bercakap-cakap. Selang seling dari
percakapan itu Alan mengutarakan keinginannya bekerja di Medan. Lalu, Jaka
menghubungi temannya di Medan untuk menanyakan lowongan kerja di biro perjalanan
pariwisata di kota pulau Samosir itu. Akhirnya dapat lah informasi langsung
dengan persyaratannya.
***
Beberapa
hari setelah itu Alan mengirimkan berkas lamarannya ke perusahaan biro
perjalanan luar negeri yang terletak di kota tari Tor-tor itu. Setelah menunggu
telepon dari Bapak kepala personalia, akhirnya Alan diterima di sana dan
disuruh segera berangkat ke Medan sekaligus mulai bekerja empat hari setelah
Bapak itu. “Alhamdulillah Ya Rabb,”
ungkap Alan dengan rasa haru. Hari esoknya, Alan berangkat dengan mobil antar
propinsi menuju kota Medan. Setiba di sana ia mencari tempat tinggal sementara (kost) hingga tiba hari dimana ia mulai
bekerja.
“Assalamua’laikum,Selamat
pagi, perkenalkan saya Alan dari kota Painan Pak. Saya dipanggil kerja di sini
setelah diterimanya berkas lamaran saya empat hari yang lalu,” ujarnya dengan
sopan.
“Oh iya,lupa..hehe..selamat ya dek!. Anda
diberi kesempatan untuk bergabung pada perusahaan biro perjalanan kami. Semoga
dapat bekerja dengan baik di sini,” balas Bapak itu.
”
Ya Pak, amin..Terima Kasih banyak ya Pak,” ucap Alan dengan rasa senang. Dengan
penuh kedisiplinan ia bekerja di sana. Tak pernah ada kata telat datang baginya.
Melihat teman-teman sesama kerja banyak yang terlambat masuk kantor, ia bahkan
lebih on time datang daripada satpam
pengganti sekalipun. Ini berkat kedisiplinan yang diajarkan oleh ayahnya waktu
ia di kampung.
Tibalah
saat pembagian gaji. Alan tak ingin berpikir lama. Ia langsung mengirim
sejumlah uang kepada keluarganya di kampung. “Alhamdulillah, gaji pertamaku
lumayan besar. Separoh dari gajiku bakal aku kirim untuk keluarga di Painan,”
ucapnya. Sebab tujuan utamanya merantau biar dapat membantu keluarganya yang
ada di sana. Setelah hampir satu tahun ia bekerja di Medan. Ia dipindahkan ke
kantor pusat biro perjalanan yang berkantor pusat di kota Sidney, Australia. Di sana letak
perusahaan biro perjalanan Kizroh, pusat dari biro-biro perjalanan yang ada di
beberapa negara ini. Pantas saja ia dipindahkan di sana karena perusahaan
Kizroh pusat membutuhkan orang-orang seperti Alan. Dedikasi, keuletan,
kedisiplinannya tak diragukan lagi.
***
Setahun
sudah Alan menetap dan bekerja di kota Sidney, Australia. Sejak ia kerja di
sana Alan lebih sering mengirim uang yang angkanya lumayan besar. Kesibukannya
bekerja tak membuat Alan lupa berkomunikasi dengan ayah, adik-adik, bahkan tetangga
dekatnya. Negara Kangguru itu akan
menjadi saksi bisu keberhasilan Alan dirantau. Siang yang cerah ia dan tiga
orang temannya ditugaskan mewakili perusahaan Kizroh dalam pertemuan
perusahaan-perusahaan Islam se-Australia. Suara yang merdu, berwajah cantik,
berjilbab. Itu yang membuat Alan melirik seorang wanita pembaca ayat suci
Al-Qur’an di atas podium saat itu.
Usai
wanita bersuara emas itu membaca Al-Qur’an. Alan langsung menemuinya yang
ketika itu duduk tak terlalu jauh darinya mereka pun bercakap-cakap hingga
sampai berbagi pin handphone BB (Blackberry). Tak terasa setengah jam ia
pun memisahkan diri sebab acara inti akan dimulai. Hampir tiap hari mereka menjalin
komunikasi melalui BBM-an nya. Akhirnya muncul camestrey antara mereka.
Tak ingin berpacaran lama bak pasangan muda-mudi yang lagi kena virus merah
jambu. Layaknya lelaki normal, Alan menginginkan sesosok wanita abadi yang akan
selalu menghibur hatinya. Selang waktu setelah itu Alan berencana meminang
wanita asal negeri Jiran itu menjadi istrinya. Tak menunggu lama. Pertemuan antara pihak keluarga Alan dan
keluarga Nurliza. Pertemuan itu berlangsung di Painan rumahnya Alan yang sudah
direnovasi bak istana kecil. Dalam pertemuan dibahas waktu, tempat dan
perlengkapan pernikahan Alan dan Nurliza. Sebulan setelah itu calon pasangan
beda negara itu menikah ala
kebudayaan Indonesia. Sehari sesudah itu diselenggarakan pesta pernikahan. Minggu
pertama di Painan rumah Alan. Dan minggu
berikutnya di Serawak, Malaysia.
Dengan
memakai suntiang (sunting) khas
Minang yang diletakkan di atas kepala Nurliza menjadikan ia bak nya seorang anak daro minang nan cantik jelita. Pasangan
suami istri baru itu membeli sebuah rumah besar di kota Sidney. Mereka pun
menetap di sana. Tepat sudah satu setengah bulan umur pernikahan mereka.
Nurliza pun hamil setelah rasa mual-mual dan muntah-muntah yang ia perlihatkan.
Tak ada rasa cemas Alan. Ia yakin bahwa istrinya hamil. Namun, agar lebih jelas
mereka pun pergi ke dokter spesialis anak sambil memeriksa perut Nurliza.
Alhamdulillah ternyata Nurliza positif hamil. Berbagai antusias pun mulai
dilakukan Alan mulai dari melayani ngidam yang dialami si istri hingga
mempersiapkan perlengkapan si calon bayi.
Mendekati
bulan yang kesembilan kehamilannya. Nurliza lebih sering mual-mua berbeda saat
ia hamil bulan pertama dan kedua. Tepat malam sabtu ia merasakan calon bayi
dalam perutnya sangat cepat sekali menendang perutnya beda dari biasanya. Rasa
pedih dan sakit yang dialami Nurliza memaksa Alan bangun dari tidurnya yang
nyenyak. Nurliza merasa ketuban pecah. Lalu Alan membawanya ke rumah sakit
persalinan dengan mobil fontuner miliknya. Setiba di di rumah sakit Nurliza
langsung di bawa ke dalam ruangan persalinan.
“Eak,eak,eak,” bunyi tangisan yang terdengar
oleh Alan dari balik pintu masuk ruangan persalinan itu. Setelah dibersihkan
bayi perempuan yang baru lahir itu langsung dipertemukan dengan kedua orang
tuanya. Salah seorang suster dalam ruangan itu menyuruh Alan masuk.
“Hello Mr, Now you can enter in the room!”
sapa suster di rumah sakit persalinan berskala internasional.
Lalu
Alan masuk dan langsung berucap syukur, “Alhamdulillah anakku lahir!,” sembari
menatap indah bayinya, Alan langsung
meng-qamatkan si bayi mungil itu dengan suara pelan. Setelah itu ia menghubungi
keluarga Nurliza dan keluarganya di Painan memberitahukan Nurliza telah
melahirkan. Keluarga yang jauh dari daerah perantauan, mereka hanya bisa
berucap syukur sembari mengucapkan kata selamat. Meskipun jarak jadi pembatas
namun tak menghalang komunikasi antara Alan, Nurliza dan keluarganya.
Lalu
ia mengobrol dengan Nurliza, wanita yang berhasil melahirkan dengan selamat
itu. Patut disyukuri karena ini kelahiran pertama anaknya, hilanglah semua
ketakutan dan kecemasan selama ini sebab Alan sering melihat pemberitaan diberbagai
media massa bahkan melihat nyata bayi-bayi yang lahir dengan keadaan cacat,
buta, tuli bahkan ada yang meninggal. Bersyukur Alan dan istrinya atas
kemudahan dan kelancaran yang diberikan sang Khalik atas kelahiran anaknya.
Dua
hari setelah menginap di rumah sakit persalinan mereka pun pulang ke rumah nan
penuh cinta dan kasih sayang itu. Beberapa tahun kemudian besar lah Maisyaroh Alnur singkatan nama Alan dan
Nurliza. Nama perempuan cantik hasil pernikahan mereka. Lalu Mai panggilan
akrabnya tumbuhlah menjadi anak yang pintar, cerdas dan berprestasi. Terbukti
selalu juara kelas dan selalu juara dalam lomba-lomba kepenulisan yang diadakan
oleh berbagai lembaga di Negeri Kangguru itu. Sungguh bahagia Alan dan Nurliza
memiliki anak yang cantik, cerdas dan selalu menutup aurat tersebut. Maklum
saja asuhan dari kedua orang tuanya yang taat akan agama itu menjadikan ia
sosok anak yang shalehah. Mereka pun hidup dalam bahtera keluarga yang samara (sakinah, mawaddah dan warrahmah). Writer is HASAN ASYHARI
***